Oleh: Iwan Fauzi Erat sekali
hubungan antara bahasa
dan kebudayaan. Pertalian hubungan
keduanya tidak lebih ibarat ayam dan
telur. Sulit dicari mana yang lebih dulu
ada. Bahasa ada karena ia adalah
representasi langsung dari cerminan budaya, dan budaya muncul karena
ada guyub tutur yang secara eksklusif
bersikap mandiri dalam berartikulasi.
Jadi, adanya kebudayaan
dimungkinkan salah satunya oleh
karena bahasa. Sebaliknya, bahasa adalah bagian dari inventaris unsur-
unsur kebudayaan itu sendiri. Dengan
demikian bahasa juga berfungsi
sebagai jalur dan alat pembudayaan
masyarakat serta sebagai alat
pengembangan kebudayaan itu juga. Sebagai gambaran saja, bangsa yang
paling teguh memegang budayanya
adalah bangsa Jepang. Ikon budaya
yang paling menonjol bila anda
berkunjung ke negeri Sakura itu
adalah anda mau tidak mau harus bisa berbahasa Jepang, minimal untuk
percakapan sehari-hari. Jangan harap
bahasa Inggris anda laris pakai di
sana walaupun itu dianggap sebagai
bahasa penghubung antar bangsa.
Itulah sebabnya pemerintah Jepang sudah memfasilitasi orang asing yang
belajar bahasa Jepang dengan dua
jenis aksara yakni Hiragana dan
Katagana. Akan tetapi, satu macam
jenis aksara Jepang lain yang disebut
‘Kanji’ tidak semua orang asing diajari untuk bisa menguasainya. Dari cerminan budaya tersebut jelas
kalau pemertahanan kultur
masyarakat Jepang dipertahankan
lewat sikap berbahasa. Artinya, di satu
sisi orang Jepang terbuka kepada
orang asing untuk memahami budaya mereka dengan catatan harus
menguasai dahulu bahasa mereka,
dan di sisi lain orang Jepang
cenderung protektif dengan
kebudayaan mereka di mana orang
asing yang belajar bahasa Jepang tidak serta merta menguasai seluruh
aksara Jepang. Sikap kemandirian
dalam bahasa inilah yang menjadi
tameng bagi orang Jepang dalam
memper-tahankan budayanya dari
pengaruh asing. Sederhana saja sebenarnya kekukuhan budaya
orang Jepang, yaitu mereka tidak
ingin bahasanya dilecehkan oleh
orang asing. Dilecehkan dalam arti
bahasa mereka dipinggirkan (baca:
tidak dipakai) terutama dalam situasi tertentu. Kebanggaan orang Jepang
terhadap bahasanya tergambar jelas
dalam pertemuan-pertemuan yang
bersifat seremonial terutama yang
dihadiri oleh orang asing. Di dalam
acara resmi seperti itu, bahasa Jepang tetap menjadi bahasa utama dan
selanjutnya akan diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris untuk orang
non-Jepang. Jadi praktik bahasa
seperti ini adalah salah satu
kebanggaan sebuah guyub tutur dengan bahasanya di satu sisi dan
keteguhan sebuah kelompok secara
sosietal mempertahankan kulturnya di
sisi lain. Tulisan ini sebenarnya ingin
mengatakan kalau kebudayaan suatu
masyarakat bisa lestari hanya lewat
kemandirian sikap masyarakat itu
sendiri dalam berbahasa. Istilah
‘kemandirian sikap’ atau sikap yang mandiri sengaja dipakai oleh penulis
di sini sebagai representasi sebuah
keadaan guyup tutur yang konsisten
dan teguh dalam memakai bahasanya.
Hubungannya dengan pemertahanan
budaya adalah konsisten dalam menggunakan bahasa berarti teguh
mempertahankan budaya. Tidak
konsisten dalam berbahasa berarti
ada kemenduaan dalam berbudaya. Sikap kemandirian orang Jepang di
atas sepertinya kontras sekali dengan
kemenduaan orang Indonesia dalam
berbahasa. Para penutur bahasa
Indonesia masih menampakkan
kemenduaan antara perilaku dan ketidakmandirian sikap. Secara umum
orang Indonesia terkesan sangat
menggampangkan dan
menyepelekan penguasaan bahasa
Indonesia. Tidak heran kalau para
penuturnya tidak pernah merasa malu kalau mereka salah dalam berbahasa
Indonesia, karena memang tidak ada
sanksi sosial atau hukuman atas
kesalahan itu. Ironisnya, pada saat
yang sama orang Indonesia merasa
malu berbicara bahasa Inggris jika penguasaan bahasa Inggrisnya
lemah. Artinya perilaku berbahasa
seperti inilah yang nantinya membuat
entitas budaya bangsa menjadi tidak
mandiri di tengah budaya asing
sebab seorang penutur bahasa Indonesia lebih apresiatif dengan
bahasa asing daripada bahasanya
sendiri. Adalah bangsa yang
menjunjung tinggi bahasa
nasionalnya merupakan bangsa yang
berbudaya. Beruntunglah kita orang Indonesia
memiliki satu bahasa nasional yaitu
bahasa Indonesia, tidak seperti
bangsa Yogoslavia yang
menggunakan empat bahasa
sekaligus yakni Slovene, Macedonia, Albania, dan Hongar, yang keempat-
empatnya ditetapkan sebagai bahasa
kebangsaan. Sementara itu terdapat
pula beberapa bangsa yang memakai
satu bahasa tetapi bahasa itu sama
sekali bukan miliknya. Contohnya bangsa Senegal menggunakan
bahasa Perancis, Nigeria memakai
bahasa Inggris, dan Brazil berbahasa
Spanyol, untuk sekedar menyebut
beberapa. Namun bagi ketiga negara itu– Senegal, Nigeria, dan Brazil–kesamaan bahasa bukan berarti mencerminkan
kemiripan budaya. Orang Senegal
belum tentu berbudaya Perancis, atau
orang Nigeria dan Brazil tidak serta
merta mengadopsi budaya Inggris
dan Spanyol hanya karena mereka menganggap bahasa-bahasa itu
sebagai bahasa nasional mereka.
Sebaliknya bagi orang Perancis,
Inggris, dan Spanyol ada satu
kebanggaan tersendiri dalam diri
mereka karena bahasanya tidak saja dipakai di negaranya sendiri tetapi
juga di belahan bumi lain yang secara
geografis tak ada hubungan teritori
sama sekali dengan negara mereka.
Sebuah paradoks bagi bahasa
Indonesia di mana ia masih terseok- seok menarik minat dan perhatian
penuturnya (orang Indonesia) untuk
konsisten dan taat asas dalam
memakai bahasanya sendiri. Kalau
apresiasi orang Indonesia terhadap
bahasanya saja sudah lemah maka usaha untuk memoderenkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa kawasan
hanyalah impian belaka sebab hanya
orang Australia saja yang mungkin
bangga bisa berbahasa Indonesia
tetapi bukan orang Indonesianya sendiri. Garis Kebijakan Pemerintah sebagai penggaris
kebijakan yang memiliki wewenang
untuk mengatur perkembangan
bahasa di negeri ini, lewat sebuah
lembaga Pusat Bahasa, tetap
mengindahkan fungsi-fungsi pemakaian bahasa di tanah air:
bahasa Indonesia, bahasa daerah,
dan bahasa asing. Pengindahan ini
adalah sebagai wujud nyata sikap
kemandirian bangsa dalam
mengapresiasi bahasa-bahasa tersebut untuk menopang pilar
budaya bangsa itu sendiri. Dalam pandangan global, bahasa
asing tidak bisa tidak diperlukan
karena mengingat fungsinya sebagai
alat pembantu pengembangan
bahasa Indonesia menjadi sebuah
bahasa modern, selain sebagai alat perhubungan antarbangsa dan alat
pemanfaatan sains dan teknologi.
Sementara itu, bahasa daerah yang
difungsikan sebagai lambang
kebanggaan dan identitas daerah
harus mampu mengembangkan dan mendukung kebudayaan daerah
setempat selain sebagai alat
komunikasi di dalam lingkungan
keluarga. Selanjutnya keberadaan
bahasa daerah untuk mendukung
bahasa nasional memang difungsikan sebagai pemerkaya bahasa Indonesia
baik dari leksem istilah atau unsur
kosakatanya. Dengan adanya fungsi-
fungsi yang terpisah dan saling
mendukung itu, secara eksplisit telah
diarahkan kepada warga bangsa Indonesia kapan seharusnya bahasa
Indonesia digunakan, kapan pula
bahasa daerah dan bahasa asing
dituturkan. Mengingat bahasa merupakan salah
satu rohnya budaya, maka
kebudayaan daerah harus tetap
dipelihara lestari untuk merebut
kembali hati rakyat orang Indonesia
yang sudah mulai ‘terperangah’ dengan budaya asing. Antara lain
dengan memandirikan sikap apresiatif
berbahasa–baik bahasa daerah maupun bahasa nasional–sebagai penopang pilar pemertahan budaya
bangsa. Representasi langsung dari
kemandirian bahasa dalam
pemertahanan budaya ini dapat dilihat
langsung pada sikap urang Banjar
yang memegang teguh budayanya lewat bahasa. Anda kalau bertemu
dengan orang Banjar di luar kawasan,
katakan saja di Kaltim atau Kalteng,
mereka tidak dengan serta merta
mengabaikan bahasa Banjarnya tetapi
malah lawan bicaranya yang dirasuki roh kebanjarannya. Lebih-lebih lagi ini
dapat dilihat dari ketaatasasan sikap
orang Banjar mempertahankan inguh
(baca: dialek) Banjar Hulu atau Banjar
Kuala dalam tindak tuturnya. Yang
jelas, sikap kemandirian berbahasa seperti inilah yang mampu
mengkristalkan sebuah entitas dari
pernyataan keteguhan sikap budaya
yang mandiri. Adalah bukan sesuatu yang
berlebihan kiranya jika lewat bahasa
daerah yang beratus-ratus jumlahnya
di nusantara ini para penuturnya
menjadi penyangga kemandirian
bahasa nasional serta sebagai inventaris kebudayaan daerah. Ikon-
ikon daerah ini sekaligus menjadi
ornamen budaya bangsa dan bukan
hanya difungsikan sebagai aksesoris
seremonial budaya atau lambang
kebanggaan primordial. Ketika budaya dan bahasa dikultuskan
untuk menjunjung tinggi semangat
primordial maka penyangga
kemandirian budaya dan bahasa
nasional lambat laun akan menjadi
rapuh. Semoga hal ini tak akan pernah terjadi.
*) Artikel ini sudah dipublikasikan di
Harian Banjarmasin Post pada 19
Agustus 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar