Selasa, 19 Februari 2008
Pelanggaran HAM atas Dunia Islam dan Sikap Umat Islam di Indonesia
Oleh:
M. Lubabul Mubahitsin
Aktifis Pusat Studi HAM UII (PUSHAM-UII)
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
Ketika menyaksikan dahsyatnya Perang Dunia II yang memakan korban sampai 80 juta jiwa, dunia terperangah melihat runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan peradaban Barat. Seluruh masyarakat dunia cemas jika peristiwa yang mencabik-cabik perikemanusiaan tersebut sampai terulang lagi. Berangkat dari ‘trauma’ inilah, maka mereka—melalui PBB—kemudian membuat berbagai macam kesepakatan bersama tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan aturan tentang hubungan antar negara, termasuk ketika kondisi perang.
Di antara dokumen terpenting yang kemudian lahir adalah Charter of the United Nations (1945), Universal Declaration of Human Rights (1948), International Covenant on Civil and Political Rights (1976), Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1987), dan Geneva Convention (I-IV) 1949. Hampir semua negara berusaha untuk menegakkan berbagai kesepakatan tersebut, bahkan mereka saling mengawasi satu sama lain dalam hal penegakan. Tujuannya jelas, karena semua masyarakat dunia menginginkan terwujudnya peradaban yang menghargai harkat dan martabat manusia.
Namun perkembangan positif yang dibangun dengan susah payah tersebut kini mulai menghadapi situasi kritis. Sebagaimana jamak diketahui, AS dan sekutunya terus menunjukkan arogansi dan pelecehan atas berbagai kesepakatan tersebut. Entah sudah berapa banyak perjanjian dan konvensi yang mereka langgar, dan sampai sekarang mereka tidak malu-malunya untuk terus melanggar. Kalau dibiarkan, sikap ini jelas akan menjadi preseden buruk yang bisa merusak konstelasi politik Internasional dan membawa kehidupan dunia kembali ke kehidupan rimba dengan prinsip ‘siapa yang kuat, dia berkuasa.’
Arogansi AS Dan Sekutunya
Sejak penyerangan ke Afganistan dan Irak, AS dan sekutunya telah melanggar Piagam PBB (UN Charter). Padahal Piagam PBB adalah ‘International treaty’ paling fundamental yang ada di dunia ini. Sekjen PBB, Kofi Annan, mengatakan bahwa perang yang dilancarkan AS dan sekutunya tersebut illegal. Dengan demikian, serangan itu harus dianggap sebagai ‘kejahatan agresi’. Ini adalah kesalahan terbesar pertama mereka, yang sekaligus merupakan ancaman serius bagi perdamaian dunia.
Kemudian, mereka juga melanggar Geneva Convention (IV) 1949 tentang Protection of Civilian Persons in Time of War dalam invasinya. Mereka menyerang warga sipil secara membabi buta dan membombardir rumah sakit serta fasilitas publik lainnya. Puluhan LSM di Amerika yang tergabung dalam Center for Constitutional Rights (CCR) mengatakan bahwa di Irak, AS dan sekutunya telah nyata-nyata melakukan ‘kejahatan perang’ (war crime) dan ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ (crime against humanity).
Dengan demikian, ada tiga kejahatan serius yang dilakukan AS dan sekutunya: kejahatan agresi, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menyebabkan ratusan ribu nyawa melayang. Dalam perspektif HAM, AS dan sekutunya harus dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights).
Karenanya, tidak mengherankan jika Amnesty International (26/5/2004) ‘menganugerahkan’ kepada Amerika julukan terhormat: pelanggar HAM terbesar di seluruh dunia. Noam Chomsky, tokoh dari CCR, juga mengatakan dengan sinis: “Amerika—seperti halnya Israel—adalah negara yang dipimpin oleh komandan teroris dunia.”
Dengan berbagai kecaman yang dilontarkan dunia tersebut, AS dan sekutunya ternyata belum kapok dan tidak bergeming untuk melanjutkan upaya ‘demokratisasi’ (baca: penjajahan) di Irak. Hasil dari ‘demokratisasi’ ini pun nyata: Irak sekarang kacau balau dan penuh ‘chaos’. Pembunuhan, pemerkosaan, dan perampokan meningkat tajam. Kematian karena kekerasan (violent death) meningkat dari angka rata-rata 14 per bulan pada tahun 2002 (pra-agresi), menjadi 357 per bulan pada tahun 2003 (pasca-agresi). Bom bunuh diri dan kematian warga sipil juga menjadi menu sehari-hari.
Lalu dunia tersentak (meski sebenarnya sudah bisa menebak) ketika skandal Abu Ghraib Jilid I terbongkar. Skandal ini menjadi potret nyata pelanggaran mereka atas Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Atas Tawanan Perang dan Konvensi Internasional Anti-Penyiksaan (International Convention Against Torture) 1987 yang pernah ditandatangani oleh AS. Untuk menenangkan keadaan, AS dan sekutunya kemudian ‘berbasa-basi’ seperlunya.
Tapi kasus Abu Ghraib Jilid I ternyata tak membuat AS introspeksi diri. Pada akhir 2005 kemarin, Amerika malah semakin menunjukkan arogansinya yang luar biasa. Dalam memperlakukan orang yang diduga ‘teroris’, Pentagon ingin lepas dari ikatan Konvensi tentang Larangan Penyiksaan yang pernah disepakati Amerika tersebut. Segala siasat dilakukan, mulai dari mendefinisikan ‘penyiksaan’ secara sepihak dan sangat sempit, sampai membuat instruksi kepada bawahan secara kabur agar nanti ada penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Kini dunia kembali disentakkan oleh terbongkarnya skandal Abu Ghraib Jilid II yang lebih kejam dari yang pertama. Siapapun yang masih normal jiwa kemanusiaannya pasti akan bergidik jika melihat kekejaman di luar batas yang ada dalam foto-foto skandal tersebut. Tapi, lagi-lagi, ini tidak mengurangi arogansi Amerika untuk terus liar dalam merusak perdamaian dunia. Entah sampai kapan mereka akan tetap merasa ‘innocent’ dan memerankan diri menjadi ‘polisi dunia’, sementara fakta-fakta pelanggaran mereka sudah sedemikian banyak dan nyata.
Amerika yang sudah punya reputasi tinggi dalam hal bagaimana mengacaukan negara lain, meroket, mengebom, menghancurkan, serta membunuh ribuan demi ribuan manusia tak berdosa, kini mulai ‘mengobok-obok’ kedaulatan Iran. Isu yang diangkat mirip dengan ketika akan menyerang Irak dulu, yaitu masalah senjata. Padahal Amerika sendiri adalah negara pengekspor senjata terbanyak di seluruh dunia. Ia bahkan dengan begitu mudahnya mengekspor senjata terhadap negara yang jelas-jelas akan menggunakannya untuk melanggar HAM, seperti Israel.
Tidak ada satu pun yang bisa menjamin bahwa perang tidak akan terjadi lagi. Apalagi ada beberapa analis, seperti Scott Ritter (anggota tim inspeksi senjata PBB), yang mulai yakin bahwa AS pada akhirnya akan menyerang Iran. Dengan ulah AS yang semakin liar dan arogan tersebut, dunia kembali dibuat cemas akan masa depan HAM dalam konteks hubungan antar negara.
Melawan Arogansi AS
Tak diragukan lagi, AS dan sekutunya telah melakukan pelanggaran secara masif atas non-derogable rights berupa hak hidup dan hak untuk tidak mendapat penyiksaan (Pasal 6 dan 7 ICCPR) serta ‘ius cogens’, sehingga mereka harus dianggap sebagai penjahat yang telah melakukan pelanggaran HAM berat. AS dan sekutunya telah melakukan melalui aparat-aparatnya kejahatan-kejahatan yang telah disepakati sebagai kejahatan internasional (international crimes).
Padahal, kejahatan-kejahatan tersebut adalah musuh bersama seluruh umat manusia (hostis humanis generis), sehingga sebenarnya mengadili para penjahat internasional tersebut adalah kewajiban mutlak dari seluruh masyarakat dunia (obligatio erga omnes). Namun dalam pelaksanaannya, kewajiban ini memang seringkali terkontaminasi oleh persoalan politik. Apalagi sejak awal Amerika memang sudah tidak mau terikat dengan berbagai perjanjian yang bisa menghalangi ‘aksi-aksi koboi’-nya, seperti Rome Statute 1998 yang menjadi dasar Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Meski sebenarnya masih bisa dilakukan upaya hukum lain, tapi kita tentu sangat mafhum, bahwa dengan melihat kekuatan mereka sekarang, mengadili adalah sebuah utopia. Siapa yang berani mengadili mereka, sedangkan mereka sangat arogan dan siap untuk bertempur melawan siapa saja yang menghalangi?
PBB seharusnya melakukan upaya lain, misalnya melakukan sanksi internasional berupa embargo ekonomi atas mereka—seperti yang pernah dilakukan terhadap Irak. Jangan lupa, ekspor luar negeri Amerika sampai saat ini masih menempati urutan pertama. Apabila negara anggota PBB dilarang untuk mengimpor produk AS—dan sekutunya, mereka pasti akan ‘kelimpungan’ dan terpaksa melakukan introspeksi. Tapi ini juga tampaknya sulit, mengingat PBB terkadang tidak berani berbuat apa-apa di hadapan AS dan sekutunya.
Melihat kenyataan di atas, maka kita sebagai bagian dari umat manusia yang beradab harus memulai perlawanan atas kedzaliman tersebut. Tapi perlawanan di sini bukan berarti perang dan menyerang secara fisik atas fasilitas atau warga mereka. Selain menambah kerawanan konstelasi politik dunia, tindakan seperti ini telah terbukti merugikan diri sendiri. Karenanya, kita harus melirik pada alternatif perlawanan lain, yaitu: pertama, merubah paradigma, dan kedua, memboikot produk mereka.
Kalau selama ini AS dan sekutunya sering diopinikan sebagai ‘pejuang demokrasi’ dan ‘pembela HAM’, maka mulai sekarang harus kita anggap sebagai yang paling melecehkan demokrasi dan HAM. Khusus untuk pemerintah AS di bawah Bush, melihat kelakuannya selama ini, mereka harus ditempatkan sebagai “the hostis humani generis”, musuh bersama semua umat manusia. Perubahan paradigma ini penting, setidaknya agar kita sebagai warga masyarakat dunia yang beradab bisa selalu muak dan menghindari terulangnya kejahatan seperti itu.
Kejahatan-kejahatan mereka tidak boleh dianggap sebagai persoalan politik semata. Apapun alasannya, kita tidak boleh terlalu ‘lembek’ dalam bersikap, sebab itu semua adalah pelanggaran HAM berat yang tidak pantas ditolerir. Adalah sangat patut disesalkan, bila nilai-nilai kemanusiaan dan HAM yang diperjuangkan sekian lama harus bergeser dan akhirnya runtuh lagi.
Setelah kita bisa merubah paradigma, perlawanan selanjutnya adalah dengan aksi nyata tanpa kekerasan, yaitu dengan memboikot produk mereka. Sejak penyerangan AS dan sekutunya ke Irak, beberapa ulama besar Timur Tengah seperti Yusuf al-Qaradlawi, Sa’id Ramadlan al-Buthi, Salman al-‘Awdah, ‘Abdullah al-Jibrin, dan lain-lain, telah berfatwa wajibnya boikot. Bahkan menurut Syaikh Yusuf al-Qaradlawi, membeli produk AS dan sekutunya termasuk ‘dosa besar’ (min al-kaba’ir).
Saya yakin bahwa upaya boikot bukanlah upaya yang irasional atau berlebihan. Bila bisa dilakukan secara masif, upaya ini jelas lebih baik daripada sekedar demonstrasi, apalagi demo yang sampai berakhir dengan perusakan dan jatuh korban di pihak sendiri. Selain itu, upaya ini juga sekaligus bisa berarti perang melawan kapitalisme dan menyuburkan kehidupan ekonomi di negeri sendiri. Bukankah Mahatma Gandi pernah mempraktekkan perlawanan tanpa kekerasan berupa boikot dan pada akhirnya bisa melumpuhkan penjajahan Inggris?
Perlawanan tersebut harus kita lakukan bukan semata-mata karena fanatisme agama, tapi juga karena panggilan kewajiban kemanusiaan kita sebagai warga dunia yang beradab. Kemarin, aktifis HAM baru saja dikejutkan dengan laporan terakhir UNICEF (2006) bahwa dalam tahun 2004, kematian bayi di bawah lima tahun (the under-5 infant mortality) pada pendudukan Amerika di Irak mencapai angka 122.000 dan di Afganistan sampai 359.000. Diperkirakan juga, setiap tahunnya pasukan koalisi AS secara pasif membunuh setengah juta anak-anak muslim .
Apakah kita harus terus diam saat melihat pembunuhan, penyiksaan, dan penjajahan terus menerus terjadi, khususnya pada negara-negara Islam? Yang jelas, kejahatan-kejahatan tersebut tidak akan selesai hanya dengan (meski tetap perlu) dialog, seminar, ataupun diskusi di hotel berbintang yang sebenarnya tidak lebih dari ‘proyek’ yang mengatasnamakan kemanusiaan. Bagaimanapun, kita tidak bisa mengingkari adanya penjahat-penjahat HAM yang selalu menargetkan umat Islam sebagai sasaran, dan ini tidak mungkin dilawan kecuali dengan langkah nyata secara bersama-sama. Kalau tidak dari diri kita sendiri dan mulai sekarang, maka siapa lagi yang kita andalkan dan kapan lagi akan dilakukan?
Oleh:
M. Lubabul Mubahitsin
Aktifis Pusat Studi HAM UII (PUSHAM-UII)
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
Ketika menyaksikan dahsyatnya Perang Dunia II yang memakan korban sampai 80 juta jiwa, dunia terperangah melihat runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan peradaban Barat. Seluruh masyarakat dunia cemas jika peristiwa yang mencabik-cabik perikemanusiaan tersebut sampai terulang lagi. Berangkat dari ‘trauma’ inilah, maka mereka—melalui PBB—kemudian membuat berbagai macam kesepakatan bersama tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan aturan tentang hubungan antar negara, termasuk ketika kondisi perang.
Di antara dokumen terpenting yang kemudian lahir adalah Charter of the United Nations (1945), Universal Declaration of Human Rights (1948), International Covenant on Civil and Political Rights (1976), Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1987), dan Geneva Convention (I-IV) 1949. Hampir semua negara berusaha untuk menegakkan berbagai kesepakatan tersebut, bahkan mereka saling mengawasi satu sama lain dalam hal penegakan. Tujuannya jelas, karena semua masyarakat dunia menginginkan terwujudnya peradaban yang menghargai harkat dan martabat manusia.
Namun perkembangan positif yang dibangun dengan susah payah tersebut kini mulai menghadapi situasi kritis. Sebagaimana jamak diketahui, AS dan sekutunya terus menunjukkan arogansi dan pelecehan atas berbagai kesepakatan tersebut. Entah sudah berapa banyak perjanjian dan konvensi yang mereka langgar, dan sampai sekarang mereka tidak malu-malunya untuk terus melanggar. Kalau dibiarkan, sikap ini jelas akan menjadi preseden buruk yang bisa merusak konstelasi politik Internasional dan membawa kehidupan dunia kembali ke kehidupan rimba dengan prinsip ‘siapa yang kuat, dia berkuasa.’
Arogansi AS Dan Sekutunya
Sejak penyerangan ke Afganistan dan Irak, AS dan sekutunya telah melanggar Piagam PBB (UN Charter). Padahal Piagam PBB adalah ‘International treaty’ paling fundamental yang ada di dunia ini. Sekjen PBB, Kofi Annan, mengatakan bahwa perang yang dilancarkan AS dan sekutunya tersebut illegal. Dengan demikian, serangan itu harus dianggap sebagai ‘kejahatan agresi’. Ini adalah kesalahan terbesar pertama mereka, yang sekaligus merupakan ancaman serius bagi perdamaian dunia.
Kemudian, mereka juga melanggar Geneva Convention (IV) 1949 tentang Protection of Civilian Persons in Time of War dalam invasinya. Mereka menyerang warga sipil secara membabi buta dan membombardir rumah sakit serta fasilitas publik lainnya. Puluhan LSM di Amerika yang tergabung dalam Center for Constitutional Rights (CCR) mengatakan bahwa di Irak, AS dan sekutunya telah nyata-nyata melakukan ‘kejahatan perang’ (war crime) dan ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ (crime against humanity).
Dengan demikian, ada tiga kejahatan serius yang dilakukan AS dan sekutunya: kejahatan agresi, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menyebabkan ratusan ribu nyawa melayang. Dalam perspektif HAM, AS dan sekutunya harus dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights).
Karenanya, tidak mengherankan jika Amnesty International (26/5/2004) ‘menganugerahkan’ kepada Amerika julukan terhormat: pelanggar HAM terbesar di seluruh dunia. Noam Chomsky, tokoh dari CCR, juga mengatakan dengan sinis: “Amerika—seperti halnya Israel—adalah negara yang dipimpin oleh komandan teroris dunia.”
Dengan berbagai kecaman yang dilontarkan dunia tersebut, AS dan sekutunya ternyata belum kapok dan tidak bergeming untuk melanjutkan upaya ‘demokratisasi’ (baca: penjajahan) di Irak. Hasil dari ‘demokratisasi’ ini pun nyata: Irak sekarang kacau balau dan penuh ‘chaos’. Pembunuhan, pemerkosaan, dan perampokan meningkat tajam. Kematian karena kekerasan (violent death) meningkat dari angka rata-rata 14 per bulan pada tahun 2002 (pra-agresi), menjadi 357 per bulan pada tahun 2003 (pasca-agresi). Bom bunuh diri dan kematian warga sipil juga menjadi menu sehari-hari.
Lalu dunia tersentak (meski sebenarnya sudah bisa menebak) ketika skandal Abu Ghraib Jilid I terbongkar. Skandal ini menjadi potret nyata pelanggaran mereka atas Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Atas Tawanan Perang dan Konvensi Internasional Anti-Penyiksaan (International Convention Against Torture) 1987 yang pernah ditandatangani oleh AS. Untuk menenangkan keadaan, AS dan sekutunya kemudian ‘berbasa-basi’ seperlunya.
Tapi kasus Abu Ghraib Jilid I ternyata tak membuat AS introspeksi diri. Pada akhir 2005 kemarin, Amerika malah semakin menunjukkan arogansinya yang luar biasa. Dalam memperlakukan orang yang diduga ‘teroris’, Pentagon ingin lepas dari ikatan Konvensi tentang Larangan Penyiksaan yang pernah disepakati Amerika tersebut. Segala siasat dilakukan, mulai dari mendefinisikan ‘penyiksaan’ secara sepihak dan sangat sempit, sampai membuat instruksi kepada bawahan secara kabur agar nanti ada penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Kini dunia kembali disentakkan oleh terbongkarnya skandal Abu Ghraib Jilid II yang lebih kejam dari yang pertama. Siapapun yang masih normal jiwa kemanusiaannya pasti akan bergidik jika melihat kekejaman di luar batas yang ada dalam foto-foto skandal tersebut. Tapi, lagi-lagi, ini tidak mengurangi arogansi Amerika untuk terus liar dalam merusak perdamaian dunia. Entah sampai kapan mereka akan tetap merasa ‘innocent’ dan memerankan diri menjadi ‘polisi dunia’, sementara fakta-fakta pelanggaran mereka sudah sedemikian banyak dan nyata.
Amerika yang sudah punya reputasi tinggi dalam hal bagaimana mengacaukan negara lain, meroket, mengebom, menghancurkan, serta membunuh ribuan demi ribuan manusia tak berdosa, kini mulai ‘mengobok-obok’ kedaulatan Iran. Isu yang diangkat mirip dengan ketika akan menyerang Irak dulu, yaitu masalah senjata. Padahal Amerika sendiri adalah negara pengekspor senjata terbanyak di seluruh dunia. Ia bahkan dengan begitu mudahnya mengekspor senjata terhadap negara yang jelas-jelas akan menggunakannya untuk melanggar HAM, seperti Israel.
Tidak ada satu pun yang bisa menjamin bahwa perang tidak akan terjadi lagi. Apalagi ada beberapa analis, seperti Scott Ritter (anggota tim inspeksi senjata PBB), yang mulai yakin bahwa AS pada akhirnya akan menyerang Iran. Dengan ulah AS yang semakin liar dan arogan tersebut, dunia kembali dibuat cemas akan masa depan HAM dalam konteks hubungan antar negara.
Melawan Arogansi AS
Tak diragukan lagi, AS dan sekutunya telah melakukan pelanggaran secara masif atas non-derogable rights berupa hak hidup dan hak untuk tidak mendapat penyiksaan (Pasal 6 dan 7 ICCPR) serta ‘ius cogens’, sehingga mereka harus dianggap sebagai penjahat yang telah melakukan pelanggaran HAM berat. AS dan sekutunya telah melakukan melalui aparat-aparatnya kejahatan-kejahatan yang telah disepakati sebagai kejahatan internasional (international crimes).
Padahal, kejahatan-kejahatan tersebut adalah musuh bersama seluruh umat manusia (hostis humanis generis), sehingga sebenarnya mengadili para penjahat internasional tersebut adalah kewajiban mutlak dari seluruh masyarakat dunia (obligatio erga omnes). Namun dalam pelaksanaannya, kewajiban ini memang seringkali terkontaminasi oleh persoalan politik. Apalagi sejak awal Amerika memang sudah tidak mau terikat dengan berbagai perjanjian yang bisa menghalangi ‘aksi-aksi koboi’-nya, seperti Rome Statute 1998 yang menjadi dasar Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Meski sebenarnya masih bisa dilakukan upaya hukum lain, tapi kita tentu sangat mafhum, bahwa dengan melihat kekuatan mereka sekarang, mengadili adalah sebuah utopia. Siapa yang berani mengadili mereka, sedangkan mereka sangat arogan dan siap untuk bertempur melawan siapa saja yang menghalangi?
PBB seharusnya melakukan upaya lain, misalnya melakukan sanksi internasional berupa embargo ekonomi atas mereka—seperti yang pernah dilakukan terhadap Irak. Jangan lupa, ekspor luar negeri Amerika sampai saat ini masih menempati urutan pertama. Apabila negara anggota PBB dilarang untuk mengimpor produk AS—dan sekutunya, mereka pasti akan ‘kelimpungan’ dan terpaksa melakukan introspeksi. Tapi ini juga tampaknya sulit, mengingat PBB terkadang tidak berani berbuat apa-apa di hadapan AS dan sekutunya.
Melihat kenyataan di atas, maka kita sebagai bagian dari umat manusia yang beradab harus memulai perlawanan atas kedzaliman tersebut. Tapi perlawanan di sini bukan berarti perang dan menyerang secara fisik atas fasilitas atau warga mereka. Selain menambah kerawanan konstelasi politik dunia, tindakan seperti ini telah terbukti merugikan diri sendiri. Karenanya, kita harus melirik pada alternatif perlawanan lain, yaitu: pertama, merubah paradigma, dan kedua, memboikot produk mereka.
Kalau selama ini AS dan sekutunya sering diopinikan sebagai ‘pejuang demokrasi’ dan ‘pembela HAM’, maka mulai sekarang harus kita anggap sebagai yang paling melecehkan demokrasi dan HAM. Khusus untuk pemerintah AS di bawah Bush, melihat kelakuannya selama ini, mereka harus ditempatkan sebagai “the hostis humani generis”, musuh bersama semua umat manusia. Perubahan paradigma ini penting, setidaknya agar kita sebagai warga masyarakat dunia yang beradab bisa selalu muak dan menghindari terulangnya kejahatan seperti itu.
Kejahatan-kejahatan mereka tidak boleh dianggap sebagai persoalan politik semata. Apapun alasannya, kita tidak boleh terlalu ‘lembek’ dalam bersikap, sebab itu semua adalah pelanggaran HAM berat yang tidak pantas ditolerir. Adalah sangat patut disesalkan, bila nilai-nilai kemanusiaan dan HAM yang diperjuangkan sekian lama harus bergeser dan akhirnya runtuh lagi.
Setelah kita bisa merubah paradigma, perlawanan selanjutnya adalah dengan aksi nyata tanpa kekerasan, yaitu dengan memboikot produk mereka. Sejak penyerangan AS dan sekutunya ke Irak, beberapa ulama besar Timur Tengah seperti Yusuf al-Qaradlawi, Sa’id Ramadlan al-Buthi, Salman al-‘Awdah, ‘Abdullah al-Jibrin, dan lain-lain, telah berfatwa wajibnya boikot. Bahkan menurut Syaikh Yusuf al-Qaradlawi, membeli produk AS dan sekutunya termasuk ‘dosa besar’ (min al-kaba’ir).
Saya yakin bahwa upaya boikot bukanlah upaya yang irasional atau berlebihan. Bila bisa dilakukan secara masif, upaya ini jelas lebih baik daripada sekedar demonstrasi, apalagi demo yang sampai berakhir dengan perusakan dan jatuh korban di pihak sendiri. Selain itu, upaya ini juga sekaligus bisa berarti perang melawan kapitalisme dan menyuburkan kehidupan ekonomi di negeri sendiri. Bukankah Mahatma Gandi pernah mempraktekkan perlawanan tanpa kekerasan berupa boikot dan pada akhirnya bisa melumpuhkan penjajahan Inggris?
Perlawanan tersebut harus kita lakukan bukan semata-mata karena fanatisme agama, tapi juga karena panggilan kewajiban kemanusiaan kita sebagai warga dunia yang beradab. Kemarin, aktifis HAM baru saja dikejutkan dengan laporan terakhir UNICEF (2006) bahwa dalam tahun 2004, kematian bayi di bawah lima tahun (the under-5 infant mortality) pada pendudukan Amerika di Irak mencapai angka 122.000 dan di Afganistan sampai 359.000. Diperkirakan juga, setiap tahunnya pasukan koalisi AS secara pasif membunuh setengah juta anak-anak muslim .
Apakah kita harus terus diam saat melihat pembunuhan, penyiksaan, dan penjajahan terus menerus terjadi, khususnya pada negara-negara Islam? Yang jelas, kejahatan-kejahatan tersebut tidak akan selesai hanya dengan (meski tetap perlu) dialog, seminar, ataupun diskusi di hotel berbintang yang sebenarnya tidak lebih dari ‘proyek’ yang mengatasnamakan kemanusiaan. Bagaimanapun, kita tidak bisa mengingkari adanya penjahat-penjahat HAM yang selalu menargetkan umat Islam sebagai sasaran, dan ini tidak mungkin dilawan kecuali dengan langkah nyata secara bersama-sama. Kalau tidak dari diri kita sendiri dan mulai sekarang, maka siapa lagi yang kita andalkan dan kapan lagi akan dilakukan?