Tampilkan postingan dengan label NASIONAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NASIONAL. Tampilkan semua postingan

SMS Fitnah Presiden


“Presiden Bisa Minta BIN Selidiki SMS Fitnah”
Senin, 30 Mei 2011, 14:21 WIB VIVAnews –
Wakil Ketua DPR Pramono Anung menilai Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sangat
gusar dengan berbagai fitnah yang
menimpa dia dan partainya, sampai-
sampai pagi ini ia menyempatkan diri
mengklarifikasi secara langsung di hadapan publik soal fitnah dan
tudingan-tudingan itu. “Sampai Presiden bicara seperti itu, berarti ada kegusaran,” kata Pramono di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta,
Senin 30 Mei 2011. Menurutnya,
Presiden Yudhoyono sebetulnya bisa
minta bantuan Badan Intelijen Negara
(BIN) untuk menyelidiki berbagai
fitnah yang diarahkan kepadanya, sehingga ia sendiri tidak perlu ribut-
ribut mengemukakan kemarahannya
kepada masyarakat. “Presiden bisa minta BIN untuk menindaklanjutinya.

PERBANDINGAN MODEL PEMERIKSAAN DI AMERIKA DAN INDONESIA

PERBANDINGAN MODEL PEMERIKSAAN
DI AMERIKA DAN INDONESIA
Oleh: M. Lubabul Mubahitsin

[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]


A. SEKILAS TENTANG ‘CRIME CONTROL MODEL’ DAN ‘DUE PROCESS MODEL’
Herbert L. Packer mengatakan, ada dua kecenderungan dalam praktek sistem peradilan di Amerika: “Crime Control Model” dan “Due Process Model”. Crime Control Model adalah sistem yang digambarkan seperti Conveyor Belt, berjalan sangat cepat. Dalam model ini, pemeriksaan harus ditangani oleh tenaga yang ahli (expert), agar tidak terjadi kesalahan. Azas yang dipakai adalah ‘presumption of guilty’ (praduga bersalah) dan berdiri diatas konsep ‘factual guilt’. Sedangkan Due Process Model digambarkan sebagai jalan yang berliku dan penuh hambatan. Dalam model ini, yang terpenting adalah kesesuaian dengan hukum acara yang ada, kecepatan tidak menjadi prioritas. Azas yang dipakai adalah ‘presumption of innocent’ (praduga tak bersalah) dan berdiri diatas konsep ‘legal guilt’. Masing-masing model tersebut tentu ada kelebihan dan kekurangannya.
Baik CRIME CONTROL MODEL maupun DUE PROCESS MODEL, keduanya tetap berjalan diatas koridor hukum acara, karena keduanya hanyalah kecenderungan model yang ada dalam praktek. Dalam amandemen ke-lima (The Fifth Amendment) konstitusi Amerika, yang merupakan bagian dari Bill of Rights, dinyatakan:
No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offence to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation.
Oleh karena itu, CRIME CONTROL MODEL bukan berarti melanggar HAM, karena masih tetap pada Due Process of Law sebagaimana ditentukan oleh konstitusi.
Hasil penelitian Packer ini akan digunakan untuk melihat kecenderungan dari hukum acara yang ada di Indonesia, baik dalam tataran normatif maupun empiriknya. Maksudnya, akan dilihat apakah hukum acara yang ada (dalam hal ini adalah KUHAP) dalam tataran normatifnya memberikan prosedur beracara yang lebih menitikberatkan pada efisiensi ataukah pada prosedur acara yang tepat, dengan segala konsekuensi masing-masing tentunya. Setelah itu, baru akan dilihat pada tataran relitas praktek beracara di Indonesia pada umumnya.
B. KECENDERUNGAN MODEL HUKUM ACARA DI INDONESIA
Perubahan hukum acara dari HIR menjadi KUHAP dilatarbelakangi oleh pemikiran tentang pentingnya perlindungan hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana, karena tersangka cukup lama tidak memperoleh perlindungan hukum yang layak dan manusiawi. Konsekuensi logis dari perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa adalah adanya hukum acara yang ketat, sebagai jaminan tidak dilanggarnya hak tersangka maupun terdakwa.
Maka, hukum acara pidana juga merupakan suatu undang-undang yang membatasi tindakan para penguasa. Perihal batasan ini, sama diakui baik dalam model CRIME CONTROL MODEL maupun oleh model DUE PROCESS MODEL, dimana terhadap kewenangan penguasa dalam melakukan penyidikan maupun kewenangan penanganan terhadap mereka yang dituduh melakukan tindak pidana, diberikan batasan-batasan tertentu. Hanya saja, batasan yang tampak dalam model CRIME CONTROL MODEL relatif lebih longgar dibandingkan DUE PROCESS MODEL.
Dilihat dari segi asas yang dipakai, KUHAP mengikuti asas ‘praduga tak bersalah’ (presumption of innocent) – yang biasa dipakai dalam model DUE PROCESS MODEL, bukan asas ‘praduga bersalah’ (presumption of guilty) – yang biasa dipakai dalam model CRIME CONTROL MODEL. Hal ini tampak dalam Penjelasan KUHAP, Bagian I Umum ke-tiga, yang menyatakan: setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain menunjukkan asas apa yang dipakai oleh KUHAP, penjelasan tersebut juga mengisyaratkan bahwa putusan pengadilan (yang berkekuatan hukum tetap) adalah ‘inti’ dari proses peradilan, karena penentuan salah atau tidaknya terdakwa sangat tergantung padanya. Asas ‘presumption of innocent’ adalah asas yang adanya adalah dalam model DUE PROCESS MODEL, dan salah satu ciri khas dari DUE PROCESS MODEL lainnya adalah pentingnya peran pengadilan sebagai tujuan akhir proses dan sebagai tempat untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Sehingga, bila dilihat dari segi asas yang dipakai dan peran dari pengadilan dalam rangkaian proses peradilan, secara normatif KUHAP cenderung pada model DUE PROCESS MODEL.
Hal tersebut adalah bila dilihat dari hukum acara secara umum. Agar lebih jelas, berikut adalah analsis dari tahap pemeriksaan pendahuluan sampai tahap persidangan di pengadilan.
PRA ADJUDICATION
Salah satu hal terpenting yang perlu dicermati untuk menentukan prosedural atau tidaknya KUHAP adalah eksistensi dari lembaga pra-peradilan. Sebelum memasuki pengadilan biasa, KUHAP memungkinkan adanya suatu lembaga yang bernama pra-peradilan. Sedangkan di Amerika, sebelum masuk ke sidang di pengadilan biasa, ada tiga proses yang dilalui terlebih dahulu, yaitu Arraignment, Preliminary Heearing, dan Pre-Trial Conference. Sepanjang mengenai peran aktif hakim sebelum sidang, menurut Loebby Loqman, ketiga proses yang terdapat dalam hukum acara peradilan Amerika tersebut dapat disamakan dengan pra peradilan yang ada dalam hukum acara di Indonesia. Akan tetapi, bila melihat fungsinya, maka apa yang dilakukan hakim dalam proses Arraigenment, Preliminary Heearing, dan Pre-Trial Conference, jauh berbeda dengan fungsi hakim pra-peradilan di Indonesia.
Arraignment adalah sidang di depan hakim atau wakilnya yang terjadi beberapa hari setelah seorang ditahan, dimana tuduhan terhadap tersangka dibacakan dan tersangka ditanyai sikapnya, apakah bersalah atau tidak. Barulah apabila tersangka menyatakan tidak bersalah, maka akan dilanjutkan ke depan sidang jury. Mulai saat araignment ini tanggung jawab pengawasan pelaksanaan proses pidana atas tersangka berada di tangan pengadilan.
Preliminary hearing adalah proses dimana penyidik akan menghadap pengadilan untuk memperoleh penilaian hakim apakah telah terdapat alasan kuat (probable cause) untuk percaya bahwa tersangka tertentu merupakan pelaku dari suatu tindak pidana dan oleh karena itu telah mempunyai cukup alasan untuk dapat ditahan dan diadili. Sedangkan tahap pre trial conference, lebih ditujukan untuk perencanaan sidang pengadilan, terutama mengenai pembuktian dan hak-hak pihak yang berperkara untuk memperoleh pembuktian dari pihak lain.
Sedangkan wewenang pra-peradilan untuk menguji keabsahan suatu penangkapan dan penahanan, menurut Loqman, dapat diperbandingkan dengan lembaga yang bernama Habeas Corpus. Habeas Corpus berasal dari bahasa Romawi yang berarti ‘menguasai diri sesorang’, dan dalam hukum Anglo Saxon, lembaga ini merupakan suatu lembaga kontrol terhadap terjadinya suatu penahanan. Bunyi dari perintah Habeas Corpus adalah: “Si tahanan berada dalam pemguasaan saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukkan alasan yang menyebabkan penahanannya.”
Pra-peradilan dalam KUHAP diatur dalam Bab ke-X mengenai wewenang untuk mengadili, bagian kesatu yang memuat pasal-pasal tentang pra-peradilan, yakni dimulai dari pasal 77 sampai 83. Wewenang dari hakim pra-peradilan adalah: melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan memutuskan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Adanya lembaga pra-peradilan dalam KUHAP ini menunjukkan betapa proseduralnya hukum acara yang ada di dalamnya, sehingga perlu dibuatkan lembaga khusus yang akan menguji mengenai ditaati atau tidaknya prosedur. Dengan melihat kenyataan yang seperti ini, maka jelaslah bahwa dalam proses pra-adjudication, KUHAP sudah menampakkan kecenderungannya pada model DUE PROCESS MODEL karena bersifat sangat prosedural dan menghendaki agar prosedur tersebut benar-benar ditaati.
Keadaan yang demikian itu diperkuat dengan adanya monopoli kewenangan penyidikan pada polisi di satu pihak, dan kewenangan penuntutan pada JPU di pihak yang lain, yang pada prakteknya semakin membuat prosedur yang ditentukan KUHAP sangat tidak efisien. Dipisahkannya kewenangan penyidikan dan kewenangan penuntutan pada dua lembaga yang berbeda adalah untuk “checks and balances”, sehingga bila penyidik merasa keberatan dengan SP-3 dari JPU, maka dia bisa mem-praperadilan-kan JPU. Dengan adanya pemisahan kewenangan ini, maka efisiensi yang menjadi ciri khas dari model CRIME CONTROL MODEL sama sekali tidak tampak dalam proses penyidikan sampai penuntutan. Karena, pada prakteknya seringkali terjadi bolak-balik berkas antara penyidik dan JPU, yang jumlahnya tidak pernah dibatasi oleh KUHAP. Hal ini tentu menjadi alasan yang bisa memperkuat statement bahwa pada tahap pemeriksaan pendahuluan/pra adjudication, cenderung pada model DUE PROCESS MODEL.
Apabila penyidik akan menangkap tersangka, maka harus dengan surat-surat resmi – tidak seperti yang terjadi dalam model CRIME CONTROL MODEL. Pasal 18 ayat (1) KUHAP menentukan: pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
ADJUDICATION
Pada tahap pemeriksaan di pengadilan, di Indonesia ada tiga model acara pemeriksaan, yaitu Acara Pemeriksaan Biasa (Pasal 152-202 KUHAP), Acara Pemeriksaan Singkat (Pasal 203-204 KUHAP), dan Acara Pemeriksaan Cepat (Pasal 205-216 KUHAP). Yang paling sering digunakan adalah Acara Pemeriksaan Biasa.
Dalam acara pemeriksaan biasa, tahapan dari sidang pidana pertama kali akan dimulai dengan pembukaan sidang oleh majelis hakim yang kata-katanya sudah diatur sedemikian rupa, dimana apabila sampai terjadi pelanggaran, maka sidang dapat dianggap batal demi hukum. Sidang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan dakwaan oleh JPU. Dakwaan tersebut biasanya akan dieksepsi oleh Penasehat Hukum terdakwa, dan untuk proses tersebut, biasanya hakim akan menunda sidang untuk waktu seminggu. Setelah mengajukan eksepsi, maka JPU diberi kesempatan untuk menanggapi eksepsi, dan untuknya juga diberi waktu dengan penundaan sidang. Setelah itu, kalau memang harus ada putusan sela, maka hakim akan meminta waktu untuk memberikan putusan sela, yang itu berarti terjadi penundaan sidang lagi.
Bila memang diputuskan bahwa sidang bisa dilanjutkan, maka akan diteruskan dengan pemeriksaan saksi-saksi, yang mana ini belum tentu bisa selesai dalam waktu sekali sidang. Setelah pemeriksaan saksi dan terdakwa selesai, maka JPU akan mengajukan Requsitoir-nya. Requsitoir tersebut akan ditanggapi dengan Pleidooi dari Penasehat Hukum. Tahap berikutnya adalah replik duplik yang bisa terjadi sampai berkali-kali. Setelah semuanya selesai, barulah majelis hakim akan meminta waktu – biasanya satu atau dua minggu – untuk membuat putusan. Setelah dibacakannya putusan, terdakwa diberi kesempatan untuk banding, dimana kalau kesempatan ini tidak dimanfaatkan, maka dengan sendirinya putusan akan dianggap ‘inkracht van gewijsde zack’.
Praktek dari proses persidangan yang sangat prosedural dan formalistis tersebut semuanya mendapat jaminan dari ketentuan mengenai ‘pemeriksaan di persidangan’ yang ada dalam KUHAP. Maka tidak heran, bila kemudian banyak advokat yang sengaja memanfaatkan setiap celah pada hukum acara untuk kepentingan klien. Mereka begitu sibuk bermain di wilayah hukum acara, karena merasa mendapat jaminan dari KUHAP. Penulisan nama yang salah sedikit saja bisa dijadikan masalah. Bahkan pernah ada putusan pengadilan yang pada akhirnya harus dinyatakan batal karena salah identitas terdakwa. Padahal, secara faktual terdakwa nyata-nyata hadir dan diperiksa dalam persidangan. Berdasarkan kenyataan ini, maka jelaslah bahwa dari segi praktek maupun normatifnya, tahap adjudication yang ada dalam hukum acara di Indonesia cenderung pada model DUE PROCESS MODEL.
Sebagai bukti akhir bahwa hukum acara di Indonesia sangat formalistis dan prosedural, Pasal 75 ayat (1) mengharuskan berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a. pemeriksaan tersangka
b. penangkapan
c. penahanan
d. penggeledahan
e. pemasukan rumah
f. penyitaan benda
g. pemeriksaan surat
h. pemeriksaan saksi
i. pemeriksaan di tempat kejadian
j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 21 ayat (2) menyatakan: penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau surat penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
C. KESIMPULAN
Di atas telah dijelaskan bahwa baik pada tahap pra-adjudikasi maupun adjudikasi, proses peradilan yang ada di Indonesia cenderung kepada model DUE PROCESS MODEL. Ciri-ciri yang menjadi dasar untuk mengatakan kecenderungan ini adalah:
- dipakainya asas “presumption of innocent”, tersangka atau terdakwa tidak boleh dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
- adanya lembaga pra-peradilan sebagai penguji ditaati atau tidaknya prosedur acara yang ada, sehingga menunjukkan betapa pentingnya formalitas
- inti dari proses peradilan ada pada pengadilan yang menjadi tempat utama penentuan salah atau tidaknya terdakwa
- yang dipentingkan bukanlah efisiensi, akan tetapi dipatuhinya prosedur yang telah ditentukan
- berbelit-belitnya prosedur yang ada, karena semua proses harus ada berita acaranya
Akan tetapi, untuk mengatakan secara tegas dan pasti bahwa proses peradilan pidana yang ada di Indonesia cenderung pada model DUE PROCESS MODEL sebagaimana dikatakan Packer adalah sangat sulit, karena ternyata ada beberapa hal/kriteria yang tidak terpenuhi. Menurut Loebby Loqman, dalam CRIME CONTROL MODEL, karena pendekatannya adalah efisiensi dalam melakukan penanggulangan kejahatan, maka tindakan yang dilakukan terhadap penyidik yang lalai tidak akan mempengaruhi proses perkara. Artinya, kalau terdakwa terbukti bersalah, sedang ada kekeliruan perihal hukumnya sehingga ada hak tersangka atau terdakwa yang dilanggar dalam suatu pemeriksaan pendahuluan, maka meskipun dilakukan tindakan terhadap petugas yang melakukan kekeliruan, proses pemeriksaan terhadap tersangka tetap dilanjutkan.
Sedangkan dalam DUE PROCESS MODEL, karena dari semula memang segala sesuatu didasarkan pada pelaksanaan aturan acara pidana yang benar, yang mana aturan tersebut ditentukan demi menjaga hak asasi manusia, maka apabila terjadi suatu kesalahan dalam penerapan pelaksanaan aturan acara pidana, dengan sendirinya proses perkara tersebut dianggap batal, karena telah dianggap menyalahi hak asasi seseorang, dan ini tidak dibenarkan oleh konstitusi mereka. Dalam tradisi Anglo Saxon, terdapat suatu fase yang disebut Pre Trial Conference, dimana dalam sidang yang juga dipimpin oleh seorang hakim, dicari dan dipersiapkan seluruh alat-alat pembuktian, sehingga dengan demikian amat tipis kemungkinan terjadinya suatu kesalahan. Oleh karena itulah, kalau sampai terjadi kesalahan, maka sudah selayaknya berakibat batalnya perkara tersebut demi hukum.
Model hukum proses peradilan pidana yang ada di Indonesia, baik normatif maupun praktis, memang cenderung pada model DUE PROCESS MODEL sebagaimana yang dikatakan Packer. Namun karena pelanggaran atas ketentuan hukum acara/prosedur tidak menyebabkan batal demi hukumnya proses pemeriksaan yang telah dilalui – sebagaimana kriteria dari model DUE PROCESS MODEL menurut Packer, maka untuk menyamakan secara mutlak model yang ada dalam hukum acara di Indonesia dengan DUE PROCESS MODEL sebagaimana yang dikatakan Packer adalah kurang tepat. Pendapat yang demikian ini adalah kalau kita mendasarkan diri pada pendapat Loebby Loqman.
Sebagai penutup, ada baiknya diingat pendapat dan saran dari Prof. Oemar Seno Adji, SH. yang berkaitan dengan masalah ini:
“Terlepas dari pendekatan baik dari CRIME CONTROL MODEL maupun DUE PROCESS MODEL untuk melihat sejauh mana KUHAP memperhatikan HAM, maka dengan telah dicantumkannya hak dari tersangka dan terdakwa, berarti kita telah memperhatikan dan menghormati harkat manusia yang dalam hal ini mempunyai sifat universal, seperti yang termuat dalam ‘The Universal Declaration of Human Rights’ serta ‘International Covenant on Civil and Political Rights’ beserta Opyional Protocolnya, yang terutama termuat dalam Pasal 9 serta Pasal 14 I.C.C.P.R tersebut.” 
sumber : http://lubabulmubahitsin.blogspot.com

PERGULATAN AKAL DAN TEKS DALAM EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM OLEH: M. LUBAB AL-MUBAHITSIN

PERGULATAN AKAL DAN TEKS DALAM EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM
OLEH: M. LUBAB AL-MUBAHITSIN


[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]

BAB I
PENDAHULUAN

Beberapa abad yang lalu, Rene Descartes mengatakan: “Cogito Ergo Sum” (kurang lebih berarti, aku berpikir maka aku ada). Ungkapan inilah yang kemudian menjadi spirit bagi perjalanan pemikirannya dan mampu mengantarnya menjadi seorang filsuf besar. Bahkan ungkapan tersebut pada hakikatnya telah menjadi spirit bagi sekian banyak, kalau tidak boleh dikatakan semua, filsuf-flisuf besar lainnya yang bermunculan baik sebelum maupun setelah Descartes. Persetubuhan ungkapan tersebut dengan pemikiran filsuf dari periode awal sampai kontemporer telah melahirkan “bayi” yang menjadi ksatria-ksatria bagi setiap zamannya. Spirit ini mengajarkan agar setiap manusia, khususnya para filsuf, selalu berproses untuk mencarai kebenaran, dan jangan sampai berhenti memikirkan, terutama hal-hal yang oleh kebanyakan manusia dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak.
Dalam dunia filsafat, sebuah kebenaran akan terus mengalami falsifikasi yang pada dasarnya terus melingkar sehingga membentuk sebuah lingkaran ilmiah (scientific circle). Sehingga, kebenaran-kebenaran, dalam pandangan filsafat semuanya bersifat nisbi, yang suatu saat akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut bisa merubah secara radikal, menambahkan, melengkapi argumen yang ada, tambal-sulam, atau bahkan meruntuhkan sama sekali. Bagi filsuf, semua kebenan hanyalah menjadi kebenaran sementara (hypo-knowledge) yang suatu saat akan mengalami proses falsifikasi. Dengan bahasa yang sederhana, tidak akan ada kebenaran yang bersifat absolut dalam filsafat, karena bila seorang filsuf telah terjebak pada ‘kebenaran absolut’, maka percayalah, pada saat itu ia sesungguhnya sedang mengalami ‘sekarat’ dalam hal pemikiran filsafatnya.
Maka tidak heran, bila dalam filsafat, pikiran harus ditempatkan pada ruangan yang ‘steril’ dari berbagai asumsi dan apriori. Karena hanya dengan kondisi yang seperti itulah, pikiran manusia tidak akan pernah bisa dijebak dan dikurung dalam penjara yang bernama kebenaran absolut atau kemapanan (establishment); hal yang selalu akan menjadi musuh utama dunia filsafat. Apalagi kemapanan yang sifatnya dibuat-buat, seperti kemapanan yang dihasilkan dari perselingkuhan dunia kekuasaan dan dunia ilmiah, dimana dunia kekuasaan ikut bermain dalam wilayah ilmiah dengan melegitimasinya menjadi mazhab resmi bagi semua orang. Ketika sudah seperti ini, tentu kebenaran-kebenaran lain akan terpinggirkan dan bahkan mungkin ‘disembelih’, agar tidak mengganggu kebenaran yang telah dilegitimasi dan melembaga tersebut.
Pelembagaan kebenaran yang menjadi musuh utama filasafat ternyata sangat tampak marak dalam masalah agama, termasuk agama Islam. Pelembagaan ini bukan hanya mengenai ‘produk’-nya saja, tapi juga metodologi. Kita bisa mencatat, bahwa dalam pemikiran Islam, banyak sekali terjadi hal-hal yang menurut filsafat harus disebut sebagai sebuah ironi atau tragedi. Pada awal perkembangan pemikiran Islam pasca wafatnya Muhammad, kita bisa melihat beberapa aliran yang dianggap sesat, seperti Muktazilah, Khawarij, dan Jabariyah. Pelembagaan kebenaran dan penjustifikasian sesat terus mengalir seiring dengan perjalanan sejarah agama ini, bahkan sampai saat ini.
Di era sekarang kita bisa mencatat nama-nama seperti Rifa’at Bek al-Thahtawi, Thaha Husain, ‘Ali Abd al-Raziq, Mahmud Abu Rayya, Arkoun, Fazlurrahman, Nashr Hamid Abu Zaid, Hassan Hanafi, dan yang lainnya yang oleh mayoritas ulama dianggap sebagai ‘orang-orang sesat’. Untuk konteks mikro, di Indonesia, baru-baru ini kita melihat fenomena takfir atas Ulil Abshar Abdalla. Mereka itu semua yang dianggap sesat, tidak lain adalah orang-orang yang pada dasarnya sedang berusaha ‘menggeliat’ dari kungkungan kemapanan pemikiran yang ada. Mereka sedang berusaha untuk bersikap rasional ilmiah diantara hegemoni mazhab tektualis yang sampai saat ini masih menguasai.
Dengan adanya fenomena yang seperti itu, berarti ada perbedaan dalam pemikiran hukum Islam berkaitan dengan peran akal dan wahyu (baca: teks). Ada yang beranggapan bahwa akal berada dibawah teks yang merupakan wujud konkrit wahyu, dan ada pula yang beranggapan bahwa akal bisa melampaui apa yang tertulis dalam teks. Sehingga, permasalahannya pun sebetulnya sederhana: sejauh mana akal dapat bermain dihadapan teks, dan sebesar apa pengaruh teks menurut Islam? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena akan sangat berpengaruh bagi hukum Islam, terutama berkaitan dengan kepastian hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN


A. MUKTAZILAH VERSUS SUNNI: AWAL PERGULATAN
Persoalan-persoalan teologi, pada awal perkembangan Islam, telah memunculkan beragam aliran. Sebutlah nama-nama seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, sampai Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Meskipun munculnya aliran-aliran tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh banyak pihak, berlatar belakang masalah politik, tapi bahwa mereka telah ikut meramaikan perdebatan dalam ilmu Kalam, adalah sebuah hal yang tak terpungkiri lagi. Diantara aliran-aliran tersebut, yang perlu untuk digali lebih jauh adalah Muktazilah dan Ahlu al-Sunnah. Karena dua aliran inilah yang telah secara serius berbicara tentang wahyu dan akal secara mendalam, yang pembicaran tersebut akhirnya berdampak pada masalah epistemologi hukum Islam.
Kaum Muktazilah adalah golongan yang dalam pembahasannya lebih mengutamakan akal dengan nuansa filsafat, sehingga lebih dikenal dengan sebutan kaum rasionalis. Sedemikian filosofisnya pemikiran mereka, sampai-sampai A. Hanafi mengatakan, bagi siapa yang ingin belajar filsafat Islam, harus menggali buku-buku yang dikarang oleh Muktazilah terlebih dahulu, sebelum menekuni buku filosof muslim lainnya. Diantara pemikiran terpenting Muktazilah yang kemudian berpengaruh pada pemikiran hukum Islam adalah pendapat bahwa Qur’an adalah makhluk, yang dijadikan oleh Tuhan pada waktu yang dibutuhkannya. Golongan ini sangat mengagungkan akal, sehingga kemudian berpendapat bahwa Tuhan dapat diketahui manusia tanpa wahyu, hanya dengan kekuatan akal saja. Begitu juga perbuatan baik dan buruk. Aliran ini pernah menjadi mazhab resmi negara pada saat pemerintahan Khalifah al-Makmun di tahun 827 M.
Bertentangan dengan aliran Muktazilah yang mengedepankan kemerdekaan dan kebebasan berpikir manusia, muncul aliran yang melawannya: aliran Sunni, yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah qadim, bukan makhluk yang bersifat hadits. Pada waktu itu, aliran Muktazilah tidak begitu banyak berpegang pada Sunnah atau tradisi, sehingga aliran yang berseberangan dengannya -- yang berpegang teguh pada Sunnah, kemudian disebut dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran ini pada akhirnya banyak mendapatkan tempat di hati kalangan rakyat biasa, karena kebanyakan rakyat awam tidak mampu memahami dan menyelami ajaran Muktazilah yang bersifat rasionil dan filosofis. Keadaan ini terus bertahan sampai pada akhirnya aliran Muktazilah hilang.
Menurut Harun Nasution, aliran-aliran Khawarij, Murji’ah, dan Muktazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali hanya dalam sejarah. Yang masih ada saekarang ialah aliran-aliran Asy’ariyah dan Maturidiah dan keduanya disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedang aliran Asy’ariyah umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali faham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya memalui kebudayaan Yunani klasik, akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Muktazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di kalangan intelegensia Islam yang mendapat pendidikan barat. Kata neo-Muktazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.

B. AKAL DAN TEKS YANG TERUS BERGULAT
Kelompok yang dianggap sesat oleh kelompok mayoritas, tidak lain, karena mereka telah memasuki ‘wilayah-wilayah tabu’ yang menurut mayoritas tidak boleh untuk dijadikan obyek akal secara bebas. Mereka dianggap telah ‘menginjak-injak’ sakralitas dan keabsolutan teks. Sementara, mereka yang dianggap sesat, berpikiran bahwa kaum ‘pemuja teks’ yang menganggapnya sesat, adalah manusia-manusia yang tidak memanfaatkan anugerah paling berharga yang telah diberikan oleh-Nya, yaitu akal. Pemuja teks bukan hanya orang-orang yang tidak ‘mensyukuri’ anugerah akal, tapi, lebih jauh, mereka adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab atas ‘kematian’ peran agama dalam kehidupan modern, disebabkan oleh tindakannya yang telah ‘mematikan’ teks.
Akibat adanya perubahan kondisi sosial masyarakat, reformasi hukum Islam merupakan hal yang terelakkan dan menjadi sebuah tuntutan. J. N. D. Anderson mengatakan tiga kategori dalam tuntutan perubahan hukum Islam: pressure for a return to Islamic law, pressures for certain relaxation in the scope of Islamic law, dan pressure for a more radical approach to Islamic law as a whole. Dalam realisasinya, tuntutan perubahan hukum Islam ini, khususnya tekanan yang ketiga, menghasilkan epistemologi baru dalam hukum Islam, yang merupakan jawaban atas terlalu rigidnya epistemologi klasik yang diikuti oleh mayoritas ulama. Epistemologi baru tersebut sangat kental akan nuansa filsafat dan lebih memilih pendekatan rasional-ilmiah ketimbang pendekatan tekstual.
Dalam filsafat Islam, akal memang bukan tanpa batas sama sekali, karena ia masih harus berkompromi dengan teks, atau setidak-tidaknya, dengan Tuhan. Dr. Haidar Bagir, seorang pakar filsafat Islam, menyebut filsafat agama -- termasuk filsafat Islam -- sebagai filsafat yang percaya pada batas tertentu “independent reasoning”, sehingga produknya tetap tertransendensikan. Pelaku filsafat adalah akal, dan musuh (atau partner)-nya adalah hati. Sehingga, filsafat Islam, yang didasari oleh keimanan, harus bisa seimbang dalam menyikapi dua hal yang ‘bertentangan’ tersebut. Dengan kondisi yang seperti ini, filsafat Islam justru berada dalam problem besar yang terus berpolemik di dalamnya, yaitu tarik ulur antara akal yang harus independent di satu sisi, dan teks sebagai sesuatu yang harus diiimbangi di sisi yang lain. Pergumulan pada ‘wilayah dasar’ ini membawa akibat yang tidak kecil di ‘wilayah permukaan’, termasuk dalam masalah hukum sebagai salah satu bentuk ‘permukaan Islam’.
Mengenai posisi akal di depan teks dan peran teks atas akal dalam epistemologi hukum Islam, ada dua mainstream. Dua aliran ini, diakui atau tidak, muncul sebagai kelanjutan dari perdebatan antara aliran teologi Islam masa lalu, khususnya Sunni dan Muktazilah. Pemikiran kaum Sunni melahirkan model epistemologi hukum Islam yang bercirikan pengormatan atas teks, sehingga dalam epistemologi yang seperti ini, teks lebih dominan daripada akal. Aliran ini, selanjutnya lebih terkenal dengan sebutan aliran tekstualis. Sedangkan aliran Muktazilah melahirkan model epistemologi hukum Islam yang sangat menghormati akal, sehingga dalam epistemologi model seperti ini, akal berada diatas redaksi literal teks. Aliran ini, kemudian lebih sering disebut aliran rasionalis, atau, menurut beberapa orang, aliran liberal.
C. AKAL DAN TEKS MENURUT MAZHAB TEKSTUALIS
Sebagaimana telah disebutkan diatas, mazhab Tekstualis adalah mazhab yang ‘lahir’ dari aliran Sunni. Sunni meliputi empat mazhab besar dalam pemikiran hukum: Syafi’I, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Masing-masing aliran tersebut memang punya epistemologi hukum yang berbeda, tapi dalam hal memposisikan teks dan akal, secara umum, mereka punya pandangan sama. Pandangan ini terdokumentasikan dalam berbagai kitab ushul fikih, yang ditulis oleh ulama-ulama selama sekian abad dan jumlahnya ratusan, atau bahkan mungkin, ribuan jilid. Sehingga untuk melacak bagaimana pandangan aliran tekstualis ini terhadap posisi akal dan teks, tidak begitu sulit, karena telah didokumentasikan secara jelas dan sistematis dalam kitab-kitab ushul fikih.
Persoalan teks mendapatkan perhatian khusus oleh para ahli ushul fikih dan dibahas dengan sangat detail. Secara umum, teks, bila dilihat dari segi keotentikannya, dibagi menjadi dua: qath’iy al-tsubut dan dzanniy al-tsubut. Qur’an adalah sumber hukum yang qathiy al-tsubut, artinya pasti otentitasnya. Sedangkan Sunnah sebagai sumber hukum ada dua, ada yang qath’iy al-tsubut dan ada pula yang dzanniy al-tsubut. Sunnah yang bersifat qath’iy al-tsubut adalah sunnah yang diriwayatkan secara mutawatir. Sedangkan sunnah yang dianggap dzanniy al-tsubut adalah sunnah yang dalam proses transmisinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Bila dilihat dari segi kejelasan penunjukan maksud, masing-masing teks Qur’an maupun Sunnah dibagi menjadi dua: qath’iy al-dalalah (penunjukannya bersifat pasti, fixed, dan strict) dan dzanniy al-dalalah (penunjukannya tidak bersifat pasti, karena ada beberapa ihtimal, sehingga membuka peluang penafsiran). Terhadap teks yang otensitas dan penunjukan maknanya bersifat pasti, maka wajib untuk melaksanakan apa kata teks. Lahirnya teks memang biasanya terkait dengan dengan suatu konteks tertentu, tapi dalam hal ini, teks harus dianggap sebagai bahasa undang-undang yang mengandung ‘kepastian hukum’, sehingga harus dilaksanakan apa adanya. Kaidah yang cukup terkenal sehubungan dengan ini adalah: al-‘ibratu bi ‘umum al-lafdzi, la bi khusus al-sababi (yang diperhitungkan adalah lafalnya yang umum, bukan sebab yang sifatnya khusus).
Ijtihad hanya diperbolehkan atas teks yang mengandung dzanniy al-tsubut dan/atau dzanniy al-dalalah. Dalam kondisi yang seperti ini, akal baru berperan secara optimal. Tapi peran akal disini pun tetap ada batasannya, yaitu tidak boleh keluar dari semangat hukum teks-teks yang lain secara umum. Bahkan, Imam Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i yang terkenal dengan gaya legisme, mengatakan bahwa ijtihad tidak boleh lepas sama sekali dari teks, dan setiap pendapat hukum harus selalu ada dasar teksnya, baik langsung maupun tidak langsung – dengan qiyas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa menurut epistemologi hukum Islam versi mazhab tekstualis, akal berada di bawah teks dan tidak boleh bersifat otonom. Bahkan dalam teks yang sifatnya qoth’iy al-tsubut dan qoth’iy al-dalalah, akal benar-benar harus kalah. Ia harus tunduk pada apa kata redaksi teks, meskipun rasio tidak bisa menerima. Contohnya adalah dalam ayat waris laki-laki perempuan yang jumlahnya adalah dua banding satu. Ketentuan tersebut harus tetap diikuti, meski akal saat ini tidak bisa menerimanya.
Pandangan yang seperti itu bukannya tanpa alasan filosofis sama sekali. Al-Ghazali, tokoh yang pernah berkecimpung dalam dunia filsafat dan ahli di bidang fikih, menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Dr. Said Ramadlan al-Bouti dalam disertasinya, bahwa apa yang dihasilkan oleh akal kebenarannya bersifat relatif, sedangkan nash (teks) kebenarannya bersifat mutlak, karena datangnya dari Al-Syari’ (pembuat hukum; Allah). Oleh karena itu, bila akal dan teks sampai berbenturan, akal harus dikalahkan dan teks harus dimenangkan.
Dalam mazhab tekstualis, akal memang berada di bawah teks, tapi bukan berarti akal kehabisan peranan. Hal ini karena, teks-teks yang sifatnya qathiy al-tsubut dan qathiy al-dalalah, jumlahnya jauh lebih sedikit bila dibandingkan teks-teks yang yang tidak qath’iy. Bahkan dalam teks yang qath’iy pun akal sebenarnya masih berperan, yaitu dalam hal penerapan teks tersebut. Kesimpulan dari peran akal dan teks menurut mazhab tekstualis adalah bahwa akal mempunyai peranan sangat besar dalam epistemologi hukum Islam, tetapi dalam hal akal berhadapan dengan teks yang sifatnya qath’iy, akal harus tunduk sepenuhnya pada teks tersebut, demi kepastian hukum.
D. AKAL DAN TEKS MENURUT MAZHAB RASIONALIS
Pandangan-pandangan hukum yang lahir dari mazhab tekstualis, dalam perjalanannya sering dianggap terlalu rigid dan kaku, terutama ketika dihadapkan pada kehidupan dunia modern. Berangkat dari fenomena yang seperti ini, muncul epistemologi baru hukum Islam yang diusung oleh kaum moderat, yang diharapkan akan mampu menghasilkan hukum Islam yang lentur, ‘manusiawi’, humanis, dan egaliter. Berbeda dengan pandangan mazhab tekstualis yang mudah dilacak karena telah terdokumentasikan secara sistematis dalam kitab-kitab ushul fikih, pandangan ‘baru’ tentang posisi akal dan teks dari aliran moderat yang rasionalis ini sukar untuk dilacak, karena masih tersebar dalam berbagai tulisan dan buku-buku. Sekedar sebagai gambaran, dalam makalah ini akan diungkapkan beberapa pandangan dari tokoh-tokoh, atau setidak-tidaknya, penganut aliran ini, yang, semoga, bisa dianggap sebagai representasi dari pandangan mazhab rasionalis ini.
Pandangan rasionalis sangat kental dengan nuansa filsafat, sehingga jelas mementingkan posisi akal. Aliran ini sangat menghendaki kebebasan akal manusia dalam penafsiran atas teks (wahyu), tidak peduli apakah teks tersebut qath’iy atau dzanniy. Karena, kebenaran adalah bersifat relatif, tergantung pada rasio. Ulil Abshar mengatakan, wahyu (teks) adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri.
Lebih tegas lagi, Ali Harb, pemikir yang kental dengan filsafat postmodernisme, dalam kritik nalar (naqd al-‘aql)-nya mengatakan bahwa nalar adalah tabir (hijab), dimana nalar yang satu akan menutupi atau menghegemoni nalar yang lain. Nalar murni berarti melepaskan nalar intuisi dan empiris, nalar ilmiah menutupi nalar dongeng atau hikayat, nalar arab menutupi nalar bukan arab, nalar islami menutupi nalar bukan islami, nalar tauhid menutupi nalar atheisme, nalar barat menutupi nalar yang bukan barat, dan seterusnya. Dalam memandang teks, Ali Harb tidak membedakan antara teks Qur’an, Hadis, ataupun yang lain, karena sama-sama berbentuk bahasa yang disusun dalam realitas yang dialogis/dialektis dengan realitas dan sama-sama berpotensi mengandung penilaian, sehingga karenanya juga berpotensi menghijab nalar (kebenaran) yang tidak diungkap dalam teks tersebut. Padahal, nilai (kebenaran) yang tidak dimuat teks tersebut dikandung oleh teks lain.
Sedangkan Mohammed Arkoun, berpandangan bahwa agar hukum Islam lebih dinamis, maka harus ada dekonstruksi terhadap epistemologi abad pertengahan yang cenderung ortodok dan kental dengan dogmatisme. Berkaitan dengan teks, khususnya Qur’an, Arkoun berpandangan bahwa Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity). Baginya, lantaran As-Syafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “terpikirkan”, berubah menjadi hal-hal “yang tak terpikirkan”. Sampai sekarang, di tengah tantangan barat modern, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus melebar.
Pandangan Arkoun bahwa teks tunduk pada sejarah, mirip dengan pendapat Nashr Hamid Abu Zaid yang menganggap al-Qur’an sebagai produk peradaban (al-Muntaj al-Tsaqofiy). Pesan inti dari pandangan seperti ini adalah bahwa teks tidak bisa dan tidak boleh dilepaskan dari konteksnya. Sehingga, jika konteks dimana teks diturunkan sudah berbeda dengan konteks sekarang, maka ketentuan redaksi teks tersebut tidak harus ditaati. Bagi mazhab rasionalis, tidak ada perbedaan antara teks yang qoth’iy maupun yang tidak, redaksi dari keduanya sama-sama bisa disimpangi bila memang sudah tidak lagi sesuai dengan konteks saat ini. Yang tidak boleh disimpangi adalah ‘semangat hukum’ dari teks tersebut (seperti keadilan, kesetaraan, dll.). Untuk menentukan apakah suatu teks masih relevan dengan konteks saat ini dan apa ‘semangat hukum’ dari teks, kuncinya ada pada akal.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dalam epistemologi hukum Islam versi mazhab rasionalis, akal berada diatas teks. Akal akan menentukan berlaku atau tidaknya redaksi teks, baik itu yang qath’iy maupun dzanniy. Tapi bukan berarti teks dikesampingkan sama sekali, karena ada yang harus dipatuhi, yaitu ‘semangat hukum’ dari teks tersebut. Sehingga, karena tidak ada keharusan untuk patuh atas redaksi teks qath’iy, maka menurut mazhab ini, kebenaran bersifat relatif, tergantung pada alasan-alasan rasional yang diajukan.
E. ANALISIS
Bila diperbandingkan, baik epistemologi yang diajukan oleh mazhab Tekstualis maupun epistemologi yang dibagun oleh mazhab Rasionalis, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Epistemologi mazhab tekstualis yang memandang keharusberlakuan teks qath’iy, kelebihannya adalah adanya kepastian hukum (rechtszekerheid). Tapi epistemologi yang seperti ini, dalam beberapa hal, memang terkesan kaku dan kurang dinamis, yaitu dalam hal yang sudah dijelaskan secara tegas dan pasti oleh syara’ ketentuan hukumnya.
Sebenarnya kekakuan dari hukum yang dihasilkan dari epistemologi seperti itu, tidak bersifat mutlak, karena ternyata, dalam beberapa hal, epistemologi tersebut juga mengakui pengaruh konteks atas teks, seperti yang tercermin dalam kaidah mereka: taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah (berubahnya hukum karena perubahan tempat dan waktu). Tapi pemberlakuan kaidah ini ada batasannya yang sangat jelas, tidak bebas sama sekali. Karena itu, sejatinya, hukum yang dihasilkan dari epistemologi tersebut, dalam beberapa hal, akan mengikuti laju peradaban dan kebudayaan manusia, tapi, dalam beberapa hal yang lain, redaksi teks berlaku mutlak, sehingga peradaban atau kebudayaan harus tunduk padanya.
Sedangkan mazhab rasionalis yang berpandangan bahwa akal berada diatas teks, kelebihannya adalah adanya hukum Islam yang dinamis, humanis, emansipatoris, egaliter, dan tidak akan pernah lapuk bila dihadapkan dengan modernitas dan dunia Barat. Namun, epistemologi mazhab ini juga ada kekurangannya, kalau tidak boleh dikatakan banyak, yaitu tidak adanya ketegasan dan kepastian hukum. Hukum Islam akan tunduk dengan peradaban, atau bahkan, bisa jadi, hukum Islam akan ‘diseret’ oleh laju peradaban ke arah yang tidak jelas batasannya. Hal ini karena, dalam epistemologi yang mereka bangun tidak ada ketentuan tegas kapan peradaban harus tunduk pada teks hukum, dan kapan teks hukum dapat berkompromi dengan realitas, sehingga fungsi kontrol sosial hukum Islam bisa dikatakan nihil.
Bila sudah seperti ini, hukum Islam sebagai sebuah bangunan ‘sistem hukum’ akan runtuh tinggal puing-puing. Tapi memang runtuhnya ‘sistem hukum Islam’ ini bukanlah hal yang menakutkan bagi para pengusung epistemologi mazhab ini, karena, menurut mereka, yang terpenting dari Islam bukan hukumnya, melainkan pesan-pesan moral. Mereka lebih senang untuk memandang Islam sebagai ‘agama moral’ daripada melihatnya sebagai ‘agama hukum’. Maka dari itulah, epistemologi yang seperti mereka bangun ini, bila dilihat dari konsekuensi yang mungkin timbul, terlalu berbahaya untuk dimainkan dalam pembentukan hukum Islam.



BAB III
KESIMPULAN
Dalam rangka pengembangan hukum Islam, epistemologi hukum Islam yang terbaik untuk digunakan, sampai saat ini, adalah epistemologi yang ditawarkan oleh mazhab tekstualis. Epistemologi model inilah yang telah diikuti oleh mayoritas ulama selama sekian abad lamanya. Sekilas, epistemologi yang lebih mendahulukan teks daripada akal ini memang terkesan rigid dan kaku, tapi itu jauh lebih baik dari epistemologi yang mengakibatkan kekacauan dan ketidakpastian hukum Islam. Epistemologi mazhab rasionalis, meskipun sepintas kelihatannya fleksibel, humanis, dan sangat ‘manusiawi’, tapi, bila dicermati secara mendalam, akan membawa konsekuensi yang sangat berbahaya bagi hukum Islam; hukum Islam sebagai sebuah ‘sistem hukum’ bisa runtuh dan porak poranda karenanya.
Untuk menanggapi kenyataan bahwa masyarakat sudah banyak mengalami perubahan dan banyak yang menjauh dari ‘rel syari’at’, solusi yang terbaik bukanlah dengan cara menyesuaikan hukum Islam secara bebas dengan kondisi tersebut, karena perubahan tersebut disebabkan oleh sikap umat muslim sendiri yang dalam mengamalkan agamanya tidak secara utuh, tapi sebagian-sebagian. Dalam beberapa hal, hukum Islam tetap harus tegas dan kokoh -- dan masyarakat muslim harus tunduk padanya, tapi dalam beberapa hal yang lain, hukum Islam boleh untuk lentur -- mengikuti perubahan masyarakat tersebut. Epistemologi yang mampu melahirkan hukum Islam yang demikian adalah epistemologi yang ditawarkan oleh mazhab tekstualis, bukan epistemologi mazhab rasionalis yang tidak jelas batasannya.
‘Semangat hukum’ dari semua sistem hukum yang ada di dunia ini bisa dikatakan mirip, kalau tidak sama persis. Tapi, sistem hukum tersebut pada akhirnya harus dikatakan berbeda, karena dalam merelisasikan ‘semangat hukum’ tersebut memang mereka tidak sama. Contohnya, sistem hukum pidana Islam dan sistem hukum pidana barat punya ‘semangat hukum’ yang sama, yaitu sama-sama menghendaki keadilan dan ketertiban umum. Tapi dalam merealisasikan ‘semangat hukum’ tersebut, keduanya berbeda. Sistem hukum pidana Islam melarang zina (karena dianggap menganggu moral publik), sedangkan sistem hukum pidana barat melegalkannya asalkan dilakukan suka sama suka (karena tidak dianggap menganggu ketertiban). Apabila epistemologi hukum mazhab rasionalis digunakan, maka batas tegas antara sistem hukum Islam dan sistem hukum lainnya akan menjadi kabur, atau bahkan hilang sama sekali, akibat tidak adanya kepastian dan ketegasan ketentuan hukum.
Akal memang harus dioptimalkan penggunaannya, tapi bukan dengan cara ‘memperkosa’ teks, karena akal bukanlah satu-satunya sumber kebenaran. Sebagai penutup, ada baiknya kita ingat kembali pesan filosof Muslim masa lalu, Ibnu Sina yang mengatakan: “The human being is incapable of understanding the truth of things. They only know the khawaas (propers), aarad (accidents), and lawazim (corollaries), but not the corrective measures for it. Alla they know is that they are khawaas and aarad”. Maka, sangat perlu bagi kita untuk kembali pada kebenaran sesungguhnya dari wahyu, bukan kebenaran yang dipaksa-paksakan melalui cara-cara, yang memang terkadang, rasional dan ilmiah, tapi sejatinya akan membahayakan Islam.
Disinilah kejujuran kita dituntut…..



DAFTAR PUSTAKA
- Listiyono Santoso, Sunarto dkk., Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003
- Prof. Dr. Ahamad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003
- Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthiy, Dlawabith al-Mashlahah fi al-Syariah al-Islamiyyah, Beirut: Mua’ssasah al-Risalah, 1986
- Dr. Sa’id Ramadlan al-Bouti, Al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah: Hukmuhu, Syara’ithuhu, Hujjiatuhu, Aqsamuhu, Atsaruhu, makalah dari www.bouti.com
- Dr. Sa’id Ramadlan al-Bouti, Al-‘Ilmu wa Mada Hurriyat al-Bahtsi al-‘Ilmiy fi al-Islam, makalah dari www.bouti.com
- Akhmad Minhaji, Modern Trend in Islamic Law, Notes on J. N. D. Anderson’s Life and Thought, dalam Al-Jami’ah Jornal of Islamic Studies Vol 39, Yogyakarta: IAIN, 2001
- Dr. S. Ali Shahrestani, The Crisis of Contemporary Civilization and the Prospects for Salvation, dalam Islamic University Quartely Academic Jornal Vol. (1) No (2), London: International Colleges of Islamic Science, 1994
- Dr. Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perkembangan, Jakarta: Yayasan Penerbit UI, t. t.
- A. Hanafi, MA., Pengantar Theology Islam, Jakarta: Djajamurni, t. t.
- Abdul Karim Tatan dan Muhammad Adib al-Kailany, ‘Aun al-Murid li Syarh Jauharat al-Tauhid fi ‘Aqidat Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah, Damascus: Dar al-Basya’ir, 1999
- Dr. Haidar Bagir, Akal adalah Rasul dalam Diri Manusia, artikel dalam www.islamlib.com
- Ulil Abshar Abdalla, Agama, Akal, dan Kebebasan, artikel dari www.islamlib.com
- M. Kholidul Adib Ach, Menggugat Teks dan Kebenaran Agama, Analisa Pemikiran Ali Harb tentang Relativitas Kebenaran Agama, artikel dari www.islamlib.com
- Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun, Cara Membaca Al-Qur’an, artikel dari www.islamlib.com
- Pradana Boy ZTF, Dimensi Filsafat dalam Wahyu, artikel dari www.islamlib.com

ANALISIS ATAS UU KPTPK

ANALISIS ATAS UU KPTPK
Oleh: Muhammad Lubabul Mubahitsin


[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]

PENDAHULUAN
Di Indonesia, korupsi telah menjadi sebuah ‘extra ordinary crime’, sehingga penanganannya pun harus lain dari penanganan kejahatan biasa. Perundangan yang mengatur kejahatan ini sendiri sudah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari Perpu No. 24/Prp/1960 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 24/1960 (Era Orde Lama), UU No. 3/1971 (Era Orde Baru) yang menggantikan UU No. 24/1960, UU No. 31/1999 (Era Reformasi), sampai peraturan yang terbaru, UU No. 20/2001. Regulasi ini mengalami perubahan dari peraturan yang satu ke yang sesudahnya tujuannya adalah untuk menyesuaikan diri dengan berkembangnya modus kejahatan ini.

Akan tetapi kejahatan ini tetap saja menampakkan eksistensinya, bahkan semakin merebak. Reformasi yang pada awalnya menjadi tumpuan harapan rakyat untuk terwujudnya Indonesia yang lebih bersih dan baik, juga ternyata tidak mampu berbuat banyak. Berkaitan dengan kegagalan tersebut, yang kemudian sering dianggap sebagai faktor utama gagalnya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan ini.

Pemerintah akhirnya sadar bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan ini tidak cukup hanya digantungkan pada aparat penegak hukum saja, tetapi harus disokong oleh badan-badan lain. Maka dari itu, pemerintah kemudian membentuk beberapa komisi dalam upaya membantu pemerintah melaksanakan upaya penegakan hukum. Komisi tersebut antara lain adalah Komisi Ombudsman, Komisi Hukum Nasional, dan yang paling baru, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Di samping itu, sebenarnya telah ada lembaga pengawas seperti BPK dan BPKP.

Diantara komisi-komisi tersebut, yang paling menarik adalah KPTPK. KPTPK menjadi menarik untuk dikaji karena, selain merupakan komisi yang paling ‘muda’, ia sangat berbeda dengan komisi-komisi lainnya, terutama dalam hal kewenangan dan tanggung jawabnya. Komisi ini seolah merupakan tumpuan akhir dari harapan untuk mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi. Tak heran, bila kemudian komisi ini diberi hak dan kewenangan yang sangat besar berkaitan dengan penanganan kejahatan korupsi.

Komisi ini menjadi semakin menarik untuk dikaji karena sejak sebelum lahirnya komisi ini memang sudah mengundang pro dan kontra. UU yang mengatur tentang komisi ini juga pernah dimintakan judicial review-nya kepada MA, yang kemudian melimpahkannya ke Mahkamah Konstitusi. Maka dari itu, dalam makalah ini, pertama akan dibahas mengenai pro kontra eksistensi KPTPK sebagai sebuah wacana dalam penanganan korupsi di Indonesia. Setelah itu, karena keberadaan KPTPK sangat berkaitan erat dengan UU No. 30/2002 yang juga sempat ‘kontroversial’, maka makalah ini juga akan menganalisis materi UU tersebut.

PRO KONTRA SEPUTAR KPTPK
UU No. 31 Tahun 1999 mengamanatkan agar dalam waktu paling lama dua tahun sejak undang-undang tersebut disahkan, telah dibentuk suatu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, sebelumnya sudah banyak sekali komisi-komisi yang, pada kenyataannya, ternyata juga tidak bisa berbuat banyak. Ada Komisi Ombudsman Nasional (diketuai Antonius Sujata), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (dipimpin Adi Andojo Soetjipto), dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (dengan Sekjen Amir Muin). Lalu untuk apa dibuat komisi-komisi yang baru? Rakyat sudah capek dengan komisi ini-itu, toh pada kenyataannya hasilnya juga tidak ada yang jelas.

Karena sudah banyaknya komisi-komisi penanganan korupsi yang dibentuk pemerintah – dan terbukti tidak bisa berbuat banyak, kehadiran KPTPK sebagai pemenuhan amanat UU 31/1999 akhirnya hanya mendapat sambutan dingin dari berbagai kalangan. Bukan hanya itu, komisi ini bahkan mendapatkan ‘perlawanan’ dari KPKPN.

KPKPN merasa dikebiri perannya dengan kehadiran KPTPK karena UU 30/2002 menentukan bahwa peranan KPKPN hanya menjadi salah satu urusan dalam KPTPK, yaitu hanya bidang pencegahan (Pasal 69 ayat (1)). Penurunan fungsi dan wewenang KPKPN diduga karena resistensi pihak tertentu akibat kepentingannya terusik. Apalagi dalam praktiknya KPKPN memang banyak membongkar indikasi KKN dari laporan kekayaan para pejabat. Maka dari itu, KPKPN kemudian mengajukan permohonan dilakukannya judicial review atas UU tersebut kepada MA, yang kemudian oleh MA dilimpahkan kepada MK.

Peleburan KPKPN ke dalam KPTPK adalah kerja buru-buru dan terkesan sembrono. Dalam penjelasan UU KPTPK, alinea ke enam menyebutkan, ...pengaturan kewenangan KPTPK dalam UU ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kewenangan instansi lain... Penyebutan kata "berhati-hati" itu justru semakin menegaskan bahwa DPR tidak waspada dan hati-hati. Bila prinsip berhati-hati itu dipakai, tidak mungkin muncul kalimat rancu. Misalnya, penjelasan Pasal 6 UU KPTPK menyebutkan, yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, KPKPN dan inspektorat. Artinya, KPKPN masih dianggap ada oleh UU itu. Sementara, pada pasal lain menyebut KPKPN dilebur (Pasal 69).

Kontroversi seputar KPTPK terus berlanjut, dan masalahnya pun semakin melebar, bukan hanya berkaitan dengan bagaimana eksistensi KPKPN saja. Ternyata banyak juga pihak yang menyangsikan efektitas dari keberadaan komisi ini dalam penanggulangan korupsi di negeri ini. Kebanyakan dari mereka menilai bahwa langkah untuk membentuk komisi baru adalah sebuah langkah yang terlalu boros. Dari pada membentuk komisi baru, apakah tidak lebih baik memberdayakan yang sudah ada saja, seperti KPKPN misalnya? Kapan sebuah lembaga/komisi akan efektif, kalau baru kerja sedikit dan mulai mantap saja sudah langsung diganti dengan yang lainnya? Begitulah alasan mereka yang kurang setuju dengan lahirnya KPTPK.

Kesangsian beberapa kalangan tersebut kemudian agak sedikit terjawab dengan besarnya hak dan kewenangan KPTPK. KPTPK memang punya kewenangan yang sama sekali lain daripada lembaga/komisi yang telah ada sebelumnya. Agaknya, ini adalah sebuah solusi yang didapat setelah belajar dari pengalaman kinerja lemabaga/komisi sebelumnya, agar KPTPK dapat menjalankan fungsinya secara efisien.
ANALISIS ATAS UU 30/2002

1. UU No. 30/2002 dan Tap MPR No.XI/MPR/1998
Dalam alasan judicial review-nya, KPKPN menyatakan bahwa UU 30/ 1999 bertentangan dengan TAP. No. XI/MPR Tahun 1998. Pertentangan krusial yang menjadi alasan judicial review KPKPN adalah, UU No 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembubaran KPKPN, sedangkan TAP. MPR No. XI Tahun 1998 mengamanatkan terbentuknya suatu lembaga pemeriksaan atas kekayaan penyelenggara negara yang dibentuk oleh Kepala Negara. Maka dari itu, berdasarkan azas lex superior derogat legi inferiori dan amanat yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) Ketetapan MPR No. III Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”, KPKPN meminta agar UU No. 30/2002 dinyatakan batal demi hukum. Tapi, apakah benar demikian adanya?

Alasan tersebut tidak tepat, karena Pasal 3 ayat (2) TAP. No. XI/MPR Tahun 1998 yang diklaim sebagai dasar adanya KPKPN ternyata tidak memberikan batasan yang jelas mengenai nama lembaga yang dimaksud. Hal ini berarti bisa lembaga mana saja yang berwenang melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat negara. Kalau memang demikian maka diberlakukanlah asas “lex posteriori derogat legi priori”, dimana dalam pengaturan hal yang sama, peraturan yang muncul kemudian mengenyampingkan peraturan yang telah ada terlebih dahulu. Maka dari itu, apa yang menjadi alasan KPKPN mengajukan judicial review sebenarnya bukanlah suatu problem hukum, karena antara UU No. 30/2002 dan Tap MPR No.XI/MPR/1998 tidak ada pertentangan apapun.

2. Kerancuan dalam UU 30/1999
Sebagaimana telah disebutkan di depan, dalam UU 30/2002 terdapat pengaturan yang rancu perihal hubungan KPKPN dan KPTPK. Misalnya, penjelasan Pasal 6 menyebutkan, yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, KPKPN dan inspektorat. Berdasarkan penjelasan pasal 6 ini, KPKPN jelas masih dianggap ada oleh UU itu. Tapi pasal 69 menyebutkan bahwa KPKPN dilebur.
Pasal rancu lain adalah Pasal 71 Ayat (2) yang menyatakan: “Setelah berlakunya KPTPK, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud Pasal 10 sampai 19 UU No 28/1999, dinyatakan tidak berlaku”. Padahal, inti dari Tap MPR XI ada pada pasal-pasal yang dihapus itu. Jadi, tugas dan wewenang yang diminta Tap MPR XI agar proses pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara diatur dengan UU, dianulir dan dihapus oleh perundang-undangan yang lebih rendah.

3. Kewenangan KPTPK
UU no. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dianggap sebagai sebuah ‘karya agung’ bangsa Indonesia ternyata seringkali menghambat proses penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi. Berkaitan dengan itu, dan dengan didasari oleh itikad baik untuk memberantas korupsi secepatnya, pemerintah kemudian mengambil kebijaksanaan untuk melakukan terobosan-terobosan yang menyimpang dari KUHAP. Terobosan ini tampak nyata, misalnya, dalam UU 30/2002 tentang KPTPK. Semua bentuk hambatan penyelesaian kasus korupsi selama ini, diterabas UU itu. KPTPK diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

KPTPK memiliki kewenangan luas mulai dari mengoordinasi penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Atas dasar undang-undang KPTPK dibentuk pula pengadilan khusus untuk menangani perkara korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPTPK. Di samping kewenangan tersebut, komisi juga diberi kewenangan mengambil alih kasus-kasus korupsi yang sedang diperiksa kejaksaan/kepolisian dengan alasan-alasan yang telah ditentukan dalam Pasal 9. Salah satunya, bila ada laporan masyarakat yang menyatakan suatu perkara korupsi yang tengah diperiksa kepolisian/kejaksaan penyelesaiannya berlarut-larut. Atau ada indikasi campur tangan dari pihak lain seperti eksekutif, yudikatif, atau legislatif.

Hal-hal yang diatur dalam UU tersebut bisa jadi sepintas lalu akan dapat memenuhi harapan masyarakat. Namun di sisi lain timbul pula keraguan, adakah beberapa hal yang diatur dalam UU ini justru akan menjadikan makin ruwetnya proses penanganan korupsi?

Salah satu hal yang cukup penting dikaji, seberapa tinggi kualitas SDM yang dimiliki komisi sehingga dapat mengambil alih kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani polisi atau kejaksaan.
Ketentuan mengenai hal ini bisa jadi sedemikian bias dan tumpang tindih dalam penerapannya, terlebih apabila dihubungkan dengan kenyataan nanti masyarakat dapat melaporkan indikasi korupsi pada lembaga yang berbeda tetapi memiliki kewenangan sama, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan KPTPK. Apakah dalam realita pelaksanaannya tidak menambah keruwetan?

Kekhawatiran lain berkaitan dengan kewenangan KPTPK yang bombastis ini adalah adanya kewenangan komisi melakukan penyitaan tanpa seizin ketua pengadilan negeri. Bisa jadi pembuat undang-undang berpendapat, mengingat begitu berbahaya perbuatan korupsi, dilakukan penyimpangan prosedur penyitaan agar penyitaan bisa lebih cepat dilakukan. Tapi dalam pelaksanaannya nanti, justru hal ini akan sangat rawan pelanggaran HAM apabila dilakukan oleh aparat yang memiliki kecenderungan melaksanakan penyimpangan dengan memanfaatkan peraturan.

Di samping ada kekhawatiran tersebut, KPTPK ternyata juga memberikan secercah pengharapan. Sebab, komisi ini juga bertugas memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang memberikan laporan terjadinya korupsi. Selama ini, hal yang amat tragis dan sering terjadi adalah pelapor dituduh melakukan pencemaran nama baik dan diadili terlebih dulu sebelum kasus korupsi diperiksa tuntas.
4. Prediksi atas Efektifitas UU 30/2002
UU 30/2002 memang telah disahkan, KPTPK juga sudah ada dan sedang mulai bekerja. Bukan hanya itu, KPTPK, sebagaimana telah dijelaskan di depan, punya kewenangan yang sangat bombastis. Tapi, apakah itu berarti korupsi di Indonesia akan segera teratasi dengan baik??

Satu hal yang perlu dicermati adalah, fakta menunjukkan bahwa sampai sekarang, KPK belum menghasilkan sesuatu yang cukup signifikan bagi upaya pemberantasan korupsi. Entah apa sebabnya, karena SDM yang kurang memadai atau karena hal lain, tidak ada yang tahu pasti.

Padahal, kewenangan yang dimilikinya jauh melebihi kewenangan yang dimiliki polisi atau jaksa. KPTPK kini menjadi satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab dalam pemberantasan korupsi, hal mana dapat dilihat dari kewenangan yang mencakup pencegahan, penanganan (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan), koordinasi, supervisi, monitoring, memberdayakan masyarakat, menyusun jaringan, serta mengambil alih wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

Sampai saat ini KPTPK masih sibuk mengurusi persoalan-persoalan intern, seperti penyusunan Kode Etik, dan beberapa persoalan ekstern yang, menurut Prof. Dr. Andi Hamzah, SH., sangat sepele. Sehingga, KPTPK bisa dikatakan belum melakukan apapun yang sifatnya konkrit berkaitan dengan penanganan korupsi. Faktor yang mungkin sangat berpengaruh terhadap hal ini adalah kurangnya SDM yang dimilki KPTPK. Karena, apa artinya kewenangan yang begitu besar, bial tidak didukung oleh kualitas SDM yang memadai. Kondisi seperti ini akan terus ada selama KPTPK belum mempunyai SDM yang memadai. Ini berarti, kita tidak bisa mendapatkan kejelasan mengenai kapan kita dapat melihat hasil kerja nyata dari komisi ini.

Selain itu, susunan orang yang duduk di KPK pun mendapat kritikan tajam dari berbagai kalangan, yang paling keras adalah Prof. Dr. Muladi, SH. Dalam hal ini, patut kita cermati apa yang dikatakan oleh Lasswell dan Rogow, sebagaimana dikutip oleh Syed Husein Alatas: “Institutions declining in power or prestige are more likely to attract corrupt men interested in promoting their personal fortunes than ambitious men concerned with furthering their careers.” Pertanyaannya, ada apa dibalik susunan kepemimpinan KPK yang demikian itu??

Bukan hanya itu, bila tuntutan SDM yang memadai sudah terpenuhi pun, tidak kemudian berarti bahwa korupsi di negara ini dapat teratasi dengan baik. Satu hal yang perlu dicermati dari UU 30/2002 adalah bahwa UU tersebut terlalu menekankan pada tindakan represif dalam upayanya menanggulangi korupsi di Indonesia. Meskipun dalam Pasal 1 ayat (3) UU tersebut disebutkan pula mengenai tugas ‘pencegahan’, tapi secara umum UU tersebut lebih menitik beratkan perhatiannya pada tindakan represif.
Korupsi tidak akan habis hanya dengan menyeret koruptor. Korupsi tetap akan hidup dan membebani rakyat jika hanya mengedepankan langkah represif. Apabila enam bulan ke depan KPTPK berhasil menyelesaikan pengungkapan kasus kakap sebagaimana dituntut oleh masyarakat, meskipun yang terungkap berpuluh-puluh kasus, dapat dipastikan korupsi di Indonesia masih marak.

Selama era reformasi korupsi di Indonesia bukan sekadar bersifat personal (perbuatan oknum), melainkan merambah ke peringkat yang sifatnya struktural atau bahkan kultural. Dalam berbagai kasus malahan telah menjadi sistemik, hal ini dapat terlihat dari sekian ratus kasus yang melibatkan para anggota legislatif di daerah. Pada era reformasi jauh lebih banyak koruptor yang diambil tindakan secara represif melalui proses peradilan dibandingkan masa Orde Baru, namun ternyata korupsi tidak surut. Dalam beberapa kasus tidak bisa dibedakan antara proses koruptif dan proses kebijakan, sulit dibedakan antara kejahatan dan kebijakan.
Menggunakan pendekatan represif semata-mata dalam pemberantasan korupsi merupakan langkah salah arah. Apabila pendekatan represif itu menjadi visi, pasti tidak akan mencapai hasil yang diharapkan.
Di negara mana pun yang berpengalaman menekan korupsi, langkah represif bukanlah menjadi visi, konsep, misi, rencana, dan program satu-satunya dalam pemberantasan korupsi. Dengan demikian, apabila dalam hal menghadapi korupsi kita hanya mengandalkan UU 30/2002 dengan KPK-nya yang sudah jelas cenderung bersifat represif, tentulah korupsi tidak akan dapat diredam. UU No. 30/2002 tidak akan mungkin berlaku efektif jika tidak dibarengi dengan usaha-usaha preventif secara sistemik.

KESIMPULAN
UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebuah undang-undang yang kontroversial, sampai sempat dimintakan judicial review-nya oleh KPKPN pada Mahkamah Agung, yang kemudian melimpahkan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi. Titik utama kontroversialisme UU ini adalah berkaitan dengan posisi KPKPN pasca lahirnya KPTPK. Di dalamnya terdapat beberapa kontradiksi antara pasal yang satu dengan yang lainnya, bahkan ada yang mengatakan bahwa UU ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

KPTPK sebagai sebuah komisi yang diserahi tugas sebagai pemberantas korupsi, oleh UU ini diberi kewenangan yang sangat luar biasa fantastisnya. Hal ini dapat dipahami karena korupsi memang merupakan “extra ordinary crime” yang harus ditangani secara spesial, sehingga komisi yang menanganinya pun harus spesial pula. Sayangnya, kewenangan yang sedemikian besar ini sampai saat ini belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Penyebabnya adalah kurangnya SDM yang dimiliki oleh komisi ini; kewenangan KPTPK yang besar itu tidak ditopang oleh kualitas SDM yang memadai. Akibatnya, KPTPK belum bisa menghasilkan hasil kerja yang konkrit.

Sisi lain dari kelemahan dari UU 30/2002 adalah, UU ini terlalu menekankan pada upaya represif untuk mencegah korupsi. Korupsi di Indonesia tidak bisa diatasi hanya dengan tindakan-tindakan represif saja, karena sudah menjadi kejahatan yang sifatnya sistemik. Seharusnya yang lebih dikedepankan adalah upaya preventif secara sistemik, yang kemudian diperkuat dengan upaya-upaya represif, dan bukan sebaliknya sebagaimana yang tampak dalam UU tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
- Syed Husen Alatas, Corruption and The Destiny of Asia, Selangor: Prentice Hall (M) Sdn. Bbd. And Simon & Schuster (Asia) Pte. Ltd., 1999
- Makalah: Masyarakat Transparasi Indonesia, Membangun Good Governance, 2001
- Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Keputusan Presiden No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Tap MPR No. XI/ MPR/ 1998 Tentang Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN
- Kompas, 15 Januari 2003
- Kompas, 25 Maret 2003
- Kompas, 8 Januari 2004
- Kompas, 6 Maret 2004
- Kompas, 3 April 2004
- Kompas, 16 April 2004
- Kompas, 7 Mei 2004

Film Nasional harus Kembali ke Khittah 1950

(Persembahan Hari Lahir Film Nasional)

Strategi kebudayaan pemerintah Indonesia tidak jelas, atau mungkin juga tidak punya. Ketidakjelasan strategi kebudayaan tercermin dalam setiap aspek kehidupan.

Ke mana arah strategi kebudayaan pemerintah kita? Jawabnya, kebanyakan tak menentu, tak jelas hendak ke mana. Banyak hal semua dipikirkan secara spontan, secara parsial.

Memang, kita dirancang untuk menjadi bangsa kuli dari bangsa yang lain. Ribuan sarjana dengan keahlian berbagai macam, mulai dari rekayasa genetika, elektronika hingga aeronetika hanya bekerja sebagai buruh diperusahaan multi nasional yang ada di sini. Tidak menciptakan usaha nasional yang mereka bisa mengendalikan dan memimpin sendiri, bahkan industri nasional yang pernah dirintis tidak dikembangkan lagi. Alasannya, tidak mampu bersaing. Kalah modal dan pasar.

Industri perfilman adalah salah satu wujud kegagalan pemerintah dari Orde Baru hingga sekarang. Indonesia pernah jaya di bidang seni film pada dasawarsa 1960-an hingga 1970-an. Film pada waktu itu menjadi salah satu media perjuangan para sineas nasional. Dan karena berjuang, para sineas kemudian juga menjadi pahlawan di bidang perfilman.

Dari diskusi di PBNU tentang perfilman Nasional yang pelopori Alex Komang, aktor cum-aktivis Lesbumi, menunjukkan besarnya potensi film nasional yang bisa dibangkitkan. Tapi hal itu mengandaikana adanya iklim yang kondusif bagi perkembangan film tersebut, baik yang bersifat kultural maupun politik.

Para penggiat film zaman keemasan, yang umumnya dari Lesbumi (H Djamaludin Malik, H Usmar Islam dan H Asrul Sani), tidak hanya memperjuangkan nasib mereka menghadapi dominasi film Amerika tahun 1940- 1950-an, tapi juga berjuang memperkenalkan film nasional dengan membuat film bermutu sehingga layak disimak oleh penonton nasional dan internasional. Selain itu, mereka juga memperkenalkan perjuangan bangsa Indonesia kepada generasi muda dengan menciptakan film-film perjuangan.

Tapi masa kejayaan itu tidak lama. Ketika orde baru berkuasa, segala sesuatu yang berbau kerakyatan dilarang, sehingga film perjuangan dan kerakyataan hilang dari peredaran diganti dengan film percintaan dan kemewahan. Ditambah lagi dengan impor film habis-habisan dari Amerika yang mendominasi film nasional.

Tindak-tanduk Orde Baru dalam perfilman, tidak hanya membuat produksi film nasional berhenti, tapi ada monopoli bioskop, yang mengakibatkan ribuan gedung bioskop nasional tutup. Dari film  impor ini pemerintah berharap mendapat pajak, yang tidak seberapa. Sementara film nasional dibebani berbagai macam pajak yang amat berat.

Pemerintah sekarang ini ingin membangkitkan lagi film nasional. Akan ada keringanan berbagai beban mulai dari pajak, perizinan dan sebagainya. Walaupun sangat terlambat, film nasional sudah hancur, tetapi hal itu perlu diapresiasi. Tentu kita senang juga jika disertai langkah pengurangan film impor yang selama ini dimanjakan dan dianakemaskan. Film nasional tidak dianktirikan lagi.

Data terakhir yang dilansir Dirjen Bea dan Cukai menunjukkan bahwa ternyata para importir film-film asing itu menunggak pajak dan royalti hingga 30 miliar, belum ditambah denda. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan bea masuk film impor merupakan langkah penting bagi pertumbuhan film nasional. Kalau pihak asosiaasi produsen film Amerika  akan menyetop pengiriman film mereka ke Indonesia itu bukan bencana, tapi suatu berkah. Mengapa?

Sebab selain kita bisa mengembangkan film nasional, kita juga bisa menyaksikan film asing yang lebih bermutu, baik dari Eropa Timur, Prancis, Jerman,  Iran, Cina dan sebagainya.

Dalam kebijakan impor film asing terutama film Amerika itu memang tidak ada untungnya. Secara ekonomi kita dirugikan dengan kebiasaan mereka yang selalu menunggak pembayaran tarif dan pajak. Monopoli di segala bidang juga merugikan bangsa ini untuk mengenal budaya dunia yang lain. Apalagi disertai dengan penghancuran gedung film nasional, dan menghancurkan produksi film nasional, kita juga tidak bisa melihat film asing yang lebih bermutu dari negara lain.

Dengan terbukanya kesempatan ini, kita tinggal menunggu kesiapan para sineas nasional. Apakah mereka mampu melahirkan film bermutu yang layak ditonton oleh masyarakat? Dan apakah film mereka juga mampu mengangkat derajat bangsa ini dan mampu memberikan kebanggan bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar?

Kepeloporan bangsa ini dalam segala bidang perlu diangkat ke layar film, agar tidak hanya dikenal oleh generasi muda tetapi juga dikenal oleh bangsa yang lain.

Kalau film Indonesia lahir sebagai sebuah perjuangan melawan ketidakadilan dan penjajahan, maka perjuangan itulah yang harus dijadikan sebagai khittah film Indonesia.

Film Indonesia lahir sebagai sarana dakwah dan perjuangan ini ditandai dengan lahirnya film Indonesia perdana yang berjudul Darah dan Doa (The Long March) yang disutradarai oleh Sineas NU, H Usmar Ismail. Kelahiran Film ini dijadikan oleh Presiden Soekarno, sebagai monumen lahirnya film Indonesia, sehingga kelahiran film ini, 30 Maret 1950 dijadikan tetenger bagi hari lahir film nasional.

Film ini dibuat sebagai alternatif dari film kolonial, film impor, serta film lokal  picisan yang dominan saat itu. Film Indonesia ini tidak hanya mengandalkan etika dan kekuatan tema yang menekankan perjuangan dan dakwah, tetapi juga sangat mengutamakan estetika. Karena itu di samping menyuguhkan tema yang berbobot juga menyuguhkan lakon yang estetis.

Kita ingin film nasional mamapu menyentuh hati pemirsa yang terdalam, yakni bermanfaat buat kemanusiaan. Itulah khittah film nasional. (Abdul Mun'im DZ)

sumber : http://www.nu.or.id/