Film Nasional harus Kembali ke Khittah 1950

(Persembahan Hari Lahir Film Nasional)

Strategi kebudayaan pemerintah Indonesia tidak jelas, atau mungkin juga tidak punya. Ketidakjelasan strategi kebudayaan tercermin dalam setiap aspek kehidupan.

Ke mana arah strategi kebudayaan pemerintah kita? Jawabnya, kebanyakan tak menentu, tak jelas hendak ke mana. Banyak hal semua dipikirkan secara spontan, secara parsial.

Memang, kita dirancang untuk menjadi bangsa kuli dari bangsa yang lain. Ribuan sarjana dengan keahlian berbagai macam, mulai dari rekayasa genetika, elektronika hingga aeronetika hanya bekerja sebagai buruh diperusahaan multi nasional yang ada di sini. Tidak menciptakan usaha nasional yang mereka bisa mengendalikan dan memimpin sendiri, bahkan industri nasional yang pernah dirintis tidak dikembangkan lagi. Alasannya, tidak mampu bersaing. Kalah modal dan pasar.

Industri perfilman adalah salah satu wujud kegagalan pemerintah dari Orde Baru hingga sekarang. Indonesia pernah jaya di bidang seni film pada dasawarsa 1960-an hingga 1970-an. Film pada waktu itu menjadi salah satu media perjuangan para sineas nasional. Dan karena berjuang, para sineas kemudian juga menjadi pahlawan di bidang perfilman.

Dari diskusi di PBNU tentang perfilman Nasional yang pelopori Alex Komang, aktor cum-aktivis Lesbumi, menunjukkan besarnya potensi film nasional yang bisa dibangkitkan. Tapi hal itu mengandaikana adanya iklim yang kondusif bagi perkembangan film tersebut, baik yang bersifat kultural maupun politik.

Para penggiat film zaman keemasan, yang umumnya dari Lesbumi (H Djamaludin Malik, H Usmar Islam dan H Asrul Sani), tidak hanya memperjuangkan nasib mereka menghadapi dominasi film Amerika tahun 1940- 1950-an, tapi juga berjuang memperkenalkan film nasional dengan membuat film bermutu sehingga layak disimak oleh penonton nasional dan internasional. Selain itu, mereka juga memperkenalkan perjuangan bangsa Indonesia kepada generasi muda dengan menciptakan film-film perjuangan.

Tapi masa kejayaan itu tidak lama. Ketika orde baru berkuasa, segala sesuatu yang berbau kerakyatan dilarang, sehingga film perjuangan dan kerakyataan hilang dari peredaran diganti dengan film percintaan dan kemewahan. Ditambah lagi dengan impor film habis-habisan dari Amerika yang mendominasi film nasional.

Tindak-tanduk Orde Baru dalam perfilman, tidak hanya membuat produksi film nasional berhenti, tapi ada monopoli bioskop, yang mengakibatkan ribuan gedung bioskop nasional tutup. Dari film  impor ini pemerintah berharap mendapat pajak, yang tidak seberapa. Sementara film nasional dibebani berbagai macam pajak yang amat berat.

Pemerintah sekarang ini ingin membangkitkan lagi film nasional. Akan ada keringanan berbagai beban mulai dari pajak, perizinan dan sebagainya. Walaupun sangat terlambat, film nasional sudah hancur, tetapi hal itu perlu diapresiasi. Tentu kita senang juga jika disertai langkah pengurangan film impor yang selama ini dimanjakan dan dianakemaskan. Film nasional tidak dianktirikan lagi.

Data terakhir yang dilansir Dirjen Bea dan Cukai menunjukkan bahwa ternyata para importir film-film asing itu menunggak pajak dan royalti hingga 30 miliar, belum ditambah denda. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan bea masuk film impor merupakan langkah penting bagi pertumbuhan film nasional. Kalau pihak asosiaasi produsen film Amerika  akan menyetop pengiriman film mereka ke Indonesia itu bukan bencana, tapi suatu berkah. Mengapa?

Sebab selain kita bisa mengembangkan film nasional, kita juga bisa menyaksikan film asing yang lebih bermutu, baik dari Eropa Timur, Prancis, Jerman,  Iran, Cina dan sebagainya.

Dalam kebijakan impor film asing terutama film Amerika itu memang tidak ada untungnya. Secara ekonomi kita dirugikan dengan kebiasaan mereka yang selalu menunggak pembayaran tarif dan pajak. Monopoli di segala bidang juga merugikan bangsa ini untuk mengenal budaya dunia yang lain. Apalagi disertai dengan penghancuran gedung film nasional, dan menghancurkan produksi film nasional, kita juga tidak bisa melihat film asing yang lebih bermutu dari negara lain.

Dengan terbukanya kesempatan ini, kita tinggal menunggu kesiapan para sineas nasional. Apakah mereka mampu melahirkan film bermutu yang layak ditonton oleh masyarakat? Dan apakah film mereka juga mampu mengangkat derajat bangsa ini dan mampu memberikan kebanggan bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar?

Kepeloporan bangsa ini dalam segala bidang perlu diangkat ke layar film, agar tidak hanya dikenal oleh generasi muda tetapi juga dikenal oleh bangsa yang lain.

Kalau film Indonesia lahir sebagai sebuah perjuangan melawan ketidakadilan dan penjajahan, maka perjuangan itulah yang harus dijadikan sebagai khittah film Indonesia.

Film Indonesia lahir sebagai sarana dakwah dan perjuangan ini ditandai dengan lahirnya film Indonesia perdana yang berjudul Darah dan Doa (The Long March) yang disutradarai oleh Sineas NU, H Usmar Ismail. Kelahiran Film ini dijadikan oleh Presiden Soekarno, sebagai monumen lahirnya film Indonesia, sehingga kelahiran film ini, 30 Maret 1950 dijadikan tetenger bagi hari lahir film nasional.

Film ini dibuat sebagai alternatif dari film kolonial, film impor, serta film lokal  picisan yang dominan saat itu. Film Indonesia ini tidak hanya mengandalkan etika dan kekuatan tema yang menekankan perjuangan dan dakwah, tetapi juga sangat mengutamakan estetika. Karena itu di samping menyuguhkan tema yang berbobot juga menyuguhkan lakon yang estetis.

Kita ingin film nasional mamapu menyentuh hati pemirsa yang terdalam, yakni bermanfaat buat kemanusiaan. Itulah khittah film nasional. (Abdul Mun'im DZ)

sumber : http://www.nu.or.id/