Presiden Direktur Microsoft Windows Bill Gates, mengunjungi Indonesia pada 8 Mei lalu. Pemimpin perusahaan pengembang piranti lunak (software) yang dikenal dengan sistem jendela itu menjanjikan kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan bantuan produk Microsoft secara gratis untuk kepentingan pendidikan.
Bantuan tersebut diberikan Gates dengan syarat bahwa pemerintah menyediakan komputer murah bagi lembaga-lembaga pendidikan yang akan menerimanya. Murah yang dimaksud untuk harga komputer tersebut adalah 200 dolar Amerika Serikat (AS) per unit komputer. Nilai tersebut kira-kira Rp 1.870.000 dengan asumsi kurs 1 dolar AS sama dengan Rp 9.350.
Bila dilihat harganya memang sangat murah. Besar kemungkinan bisa dijangkau. Tetapi, mari kita coba melihat dulu kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam negeri. Sungguh tidak memungkinkan untuk itu. Di satu sisi, masyarakat diwajibkan memikul beban hidup yang berat. Semakin berat pula akibat naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang juga diikuti naiknya harga-harga bahan pokok lainnya. Dengan demikian, sangat ironis apabila tawaran Gates disanggupi pemerintah. Apalagi pemerintah melakukan pengadaan komputer seharga 200 dolar AS per unit itu dalam jumlah ribuan.
Menurut penulis, hal yang terpenting bagi kita adalah mencoba mencermati dan menelisik tujuan sebenarnya dari seorang Gates yang termasuk dalam daftar orang terkaya nomor 3 di dunia itu. Indonesia, diakui atau tidak, adalah salah satu negara yang masuk dalam kategori ‘surga’ pembajakan, dan produk-produk Microsoft adalah salah satu korbannya.
Melihat kenyataan tersebut, Gates sebagai pucuk pimpinan sebuah perusahaan piranti lunak di dunia itu tidak bisa tinggal diam. Dalam sudut pandang Gates sebagai seorang pebisnis, Indonesia dinilainya sebagai negara berkembang yang memiliki potensi besar untuk lahan tumbuhnya teknologi. Hal penting lainnya adalah kian diminatinya dagangan Gates di Indonesia.
Cara terbaik mengurangi pembajakan piranti lunak adalah dengan membiarkannya dibajak untuk beberapa kurun waktu tertentu, lalu memberikannya secara gratis kepada sasaran yang tepat, yaitu para siswa yang masih dalam tahap pertumbuhan dan pengenalan terhadap penggunaan aplikasi komputer. Sebab, apabila pada masa tersebut seorang siswa sudah terbiasa menggunakan suatu software propetiary (piranti lunak berbayar), maka ia akan mengalami kendala apabila akan menggunakan piranti lunak lain yang non-propetiary, misal, open source (berlisensi umum). Sebaliknya, yang tercipta adalah akibat ketergantungan. Sehingga dengan terpaksa siswa tersebut kelak harus membeli software propetiary apabila akan menggunakan komputernya.
Kita kembali kepada kewajiban pemerintah untuk menyediakan komputer murah seharga 200 dolar AS per unitnya. Harga itu, kemungkinan kecil pasar yang dibidik dapat membeli seperangkat komputer baru. Nilai tersebut adalah harga rata-rata komputer bekas, lalu bagaimana kelanjutannya?
Sekadar perkiraan, berikut penulis ilustrasikan perbedaan budaya penggunaan komputer di negeri ini dengan di negara tempat tinggal Gates. Di Indonesia, sebuah unit komputer akan tetap digunakan terus bahkan setelah 5 tahun selama masih dapat berfungsi dengan baik. Pemiliknya tidak terlalu memusingkan perkembangan piranti lunak yang semakin pesat. Selama kompatibilitas (baca: kecocokan) masih dapat ditoleransi, maka lebih baik mengalokasikan dana untuk kebutuhan pokok kehidupannya. Sedangkan di negara-negara maju, umur pakai sebuah unit komputer rata-rata tidak lebih dari 3 tahun. Setelah melewati masa itu, maka pemiliknya akan mengganti dengan unit komputer baru yang sudah dapat dipastikan lebih cepat, lebih baik, lebih hemat energi dan lebih berteknologi baru sehingga dapat meningkatkan efisiensi kerja.
Lalu, bagaimana dengan nasib komputer bekasnya? Tentu saja komputer itu akan dijual murah atau bahkan dibuang dengan tujuan untuk didaur ulang. Nah, komputer-komputer bekas dari negara maju itulah yang sebagian beredar di Indonesia. Dikhawatirkan dengan patokan harga 'murah' senilai 200 dolar AS tersebut, bila pemerintah menerima tawarannya, maka harus melakukan impor komputer bekas (refurbished) tersebut dari negara maju, seperti AS.
Tawaran Gates kepada pemerintah untuk membantu pendidikan di negeri ini ada baiknya, sebab pemerintah sendiri masih mengalami kesulitan untuk melakukannya. Namun, lebih bijak lagi agar lebih berhati-hati menerima sebuah tawaran dengan tidak melupakan bahwa bagaimana pun Gates seorang pebisnis. Misinya, berdagang dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pelanggan tetapnya. Akan lebih baik bila pemerintah dapat lebih mengkaji kembali persyaratan yang diajukan Gates. Jangan sampai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa justru berbalik menjadi pembodohan dengan membiarkan generasi muda terdoktrin program-program temuan kaum kapitalis sehingga cakrawala berpikirnya menjadi sempit.
Karena di satu sisi, pemerintah juga sedang mengembangkan suatu program berbasis open source yang relatif murah dan bahkan gratis yang bernama Indonesia Goes Open Source (IGOS). Peranti lunak itu berbasis Linux dan IGOS merupakan salah satu karya putra-putri terbaik bangsa ini. (Ardyan Novanto Arnowo)